HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Kamis, 2024/06/06 12:42 WIB
Hadiri Sidang Cerai Perdana, Anji dan Wina Kompak Hitam-hitam
-
Jumat, 2024/06/07 16:16 WIB
Selain Ayu Ting Ting, Artis Indonesia Ini Masuk 100 Wanita Tercantik Dunia 2024
-
Rabu, 2024/06/05 11:55 WIB
Tak Larang Leya Pacaran, Ferry Maryadi Beri Peringatan ke Rizwan Anak Sule
-
Kamis, 2024/06/06 19:16 WIB
Akhirnya Tengku Dewi Putri Gugat Cerai Andrew Andika
-
Jumat, 2024/06/07 17:55 WIB
Artis Hong Kong Sammi Cheng Pamer Hasil Kerokan, Penampakannya Bikin Kaget
-
Selasa, 2024/06/04 11:43 WIB
Diduga Lakukan Penggelapan, Tiko Aryawardhana Suami BCL Dilaporkan Eks Istri
|
Thread Tools |
31st October 2013, 12:59 |
#1
|
Banned
|
Potret Hidup Lewat Cerpen : Sampah Masyarakat Menyampah 1
Mengisi perut yang lapar akan padi-padi para petani sebagai makanan pokok negeri Indonesia. Dicampuri dengan lezatnya ayam goreng, segarnya sayur asem, renyahnya lalap-lalapan, gurihnya kerupuk dan tak lupa pedasnya sambal. Menyatu segala aroma dalam lorong-lorong hidung. Menyatu segala rasa dalam lidah yang meliuk-liuk ombak.
Indahnya makan bersama keluarga. Bersama gelaran kapet membentang berbentuk persegi empat yang mereka duduki merapat. Saling berucap obrolan khas kekeluargaan. Pembahasan pun kini berkisar pada tema makanan. Seolah hidup adalah teman makanan. Dan memang makan adalah jalan lestarikan kehidupan. “Masakan Mamah enak,” puji anak laki-laki bungsu. “Siapa dulu suaminya…?” kata ayahnya memuji diri sendiri. “Aku juga enak masakannya kalau emang niat masak,” kata anak perempuan sulung. “Makanya, kau harus belajar masak. Biar masakanmu seperti Mamah,” ibunya menasehati Nila. Dua anak---laki-laki dan perempuan---lainnya diam tak bersuara. Anak laki-laki---anak kedua---memang sudah masuk dalam kamarnya. Yang perempuan---anak ketiga---sedang asik menelepon seseorang. Santap malam selesai. Terlihat ada sisa makanan yang masih ada keharusan untuk dihabiskan. Dan ada juga sisa makanan yang tak layak untuk dimakan. Semua sisa di anggap sebagai sesuatu yang harus disingkirkan. Sampah! Mereka santai sembari tetap hidangkan obrolan. Membicarakan sesuatu yang layak dibicarakan. Pembantu segera membereskan segala yang ada di dalam lingkaran keluarga. Segala makanan sisa---sampah---dibuang di tong kecil yang ada di dapur. Dan keluarga tetap enggan memperhatikan sisa makanan hasil dari ulah sendiri. Tetangga sebelah pun sama. Makan malam bersama. Dengan nasi sebagai makanan pokok. Di temani dengan tumis kangkung. Gorengan tahu, pula tempe. Sambal dengan khas terasi. Walau tak ada ayam mereka tetap menikmati. Dan bersama-sama mensisakan makananya. Lalu makanan itu dibuangnya di dalam kantong plastik. Mereka enggan membeli tong sampah karena uang mereka tak mau digunakan untuk wadah sampah!---yang berstatus tak diakui. Satu RT melakukan hal yang sama. Di ruang makan penuh dengan makanan. Menyantap lahap. Melakukan penyehatan kehidupan dari gejala kematian. Mereka khawatir bila tak ada makanan yang masuk dalam perut. Dan tetap sisa makanan terabaikan. Ada yang menaruh di tong sampah. Ada yang menaruh cuma di belakan rumah berserakan. Ada yang menaruh dalam kantong plastik. Semua melakukan pembuangan akhir dari makanan yang sudah tak ada kenikmatannya. *** “Seharusnya orang tuanya mendidik anaknya sedari kecil. Jaga dia baik-baik. Yang aku tahu orang tua hanya mengomeli anaknya saja. Udah, jadi liar tuh. Harus siap mendapat nama buruknya saja. Hidup dia sekarang pun cuma jadi sampah masyarakat!,” kembali ke keluarga pertama, keluarga Pak Hamid. “Si Samsul cuma terbawa arus pergaulan saja, Yah,” kata Istrinya yang bernama Ibu Munah. “Lagi pula karena faktor ekonomi,” Ibu Munah melanjutkan. “Ya, itulah pergaulan remaja sekarang. Kalau tidak gaul ya kuper, kalau gaul ya liar. Dengan kelabilan remaja, mereka serba salah tentang apa yang harus dilakukan. Antara kehidupan di keluarga dan kehidupan di lingkungan pergaulan. Tapi yang aku sesalkan, kenapa orang tua si Samsul cuma mengomeli melulu. Apa tidak ada cara lain?” Pak Hamid memberi komentar. “Lihat tuh si Rio. Dia mau kemana?” kata Ibu Munah sesaat menatap langkah anaknya yang keluar dari kamar. Mendengar ucap lirih Ibu Munah, Rio melirik seakan ia tahu apa yang akan diucapkan orang tuanya. Ia terus berjalan ke dapur. Mengambil sepasang sandal. Dan kembali lagi menuju ruang tempat makan. “Rio. Sini duduk dulu. Kau sekarang jangan keluar rumah… Sudah tahu kan tentang Samsul?” “Iya, Bu… Tapi kenapa sampai ngelarang main?” “Sudah. Turuti. Ayah peringatkan, kau jangan sering bergaul dengan Samsul! Kamu itu masih SMA, masih belajar”. “Ah, Ayah. Pergaulan gak bisa pilih-pilih kayak gitu. Apa kata teman-teman nanti bila aku pilih-pilih dalam bergaul. Lagian Samsul tidak terlalu dekat denganku”. “Tapi adik Samsul dekat denganmu…,” kata Pak Hamid. “Adik Samsul gak terlalu jahat, Bu, ketimbang kakaknya... Nasibnya saja miskin… Lagian Samsul mencuri juga karena pengangguran. Ia bukan koruptor yang mencuri bermilyar-milyar. Mau, Ayah ngasih kerjaan buat Samsul?” “Dibilangin malah membela Samsul. Ayah bilang masuk! Sudah, jangan bantah! Pakai nama koruptor segala. Ucapan kau jangan sok politis,” Pak Hamid marah. “Nak, masuk!” Ibu memerintahkan. “Udah Dik, masuk saja,” kata kakak sulung. “Iya, iya, iya… Samsul dulunya seperti ini ya? Suka dimarahin. Akhirnya jadi liar!” “Si Samsul itu pengecut! Akhirnya dia liar. Dinasehatin kok malah ngeyel,” kata Ibu Munah membantah, gumam Pak Hamid. *** Pagi datang. Pembantu bangun. Lalu ia melihat tong sampah yang terlihat sudah penuh. Aroma sudah berbau tak sedap. Tentu sampah ulah tuan rumah tak akan tersimpan terus di dalam rumah. Lalu pembantu itu membuangnya. Di samping rumahnya yang terdapat gundukan sampah besar. Bau bisa tersebar di sepanjang jalan. Berbagai sampah milik tetangga juga dibuang ke situ. Sampai bertahun-tahun, tetap menggunung. Lalu gundukan sampah itu dibenci oleh orang yang membuangnya atau orang yang lalu lalang di sekitar itu. Salah siapa?! Di pinggir rumah Pak Hamid yang bersebelahan dengan gundukan sampah. Tadinya hanya hamparan tanah kosong. Lalu dengan keisengan pembantu membuang sampah yang tak seberapa, akhirnya mengundang banyak warga untuk membuang di situ. Tempat itu bagai WC umum. Merasa dibutuhkan tapi tak diinginkan baunya. Padahal di sampingnya adalah jalan tempat lalu lalang kendaraan bermotor. Duplikat gundukan sampah tersebar ada di mana-mana. Di tiap ada keramaian warga. Tak dapat kita pungkiri. Sampah masyarakat karena memang masyarakat yang menyampah. Di sepanjang perjalanan sering kita jumpai gundukan sampah. Berserakan yang tak terurus sampai terendus hidung. Bau tak sedap menyelinap! Siapa yang peduli dengan sampah?! Ia hanya makhluk meresahkan masyarakat. Tapi, siapa biang sampah itu?! Tidak ada yang menjawab. Menurut mereka wajar manusia itu menciptakan sampah. Tapi, kenapa manusia resah tentang sampah masyarakat? Lalu apakah manusia sampah masyarakat akibat ulah masyarakat itu sendiri? Bagaimana dengan Samsul. Sekarang di keluarga ini sedang hangat membicarakan Samsul. Di tetangga sebelah pun membicarakan tentang Samsul. Kebanyakan tetangga telah membicarakan tentang Samsul. Memang di malam itu---di bulan Ramadan---Samsul menyampahkan masyarakat untuk warga sini. Dia mencuri di desa akibat pengangguran yang sudah mendarah daging sebagai penyakit. *** Tapi, bukanlah hanya Samsul yang berbuat begitu. Ada kawan lainya sebagai teman yang senasib. Dikabarkan bertiga. Tapi ada yang bilang hanya dua. Bahkan ada yang menduga hanya Samsul yang mencuri. Karena Samsul yang dihajar habis-habisan, di injak-injak, di lindas pakai motor sampai terluka parah dan masuk rumah sakit. Tapi yang jelas, menurut pengakuan Samsul sendiri bukan hanya dia, tapi bertiga. Ia dikhianati sama teman yang senasib---sama-sama pengangguran---dengannya. Kini temannya masih buron. Samsul hanya menunggu waktu sembuh lalu siap untuk memasuki sel masyarakat sampah. “Lari dengan membawa motor sewaktu ketahuan. Dan aku ditinggal karena akan masuk rumah, berniat mencuri barang-barang lain. Semua di luar rencana. Akhirnya aku kepergok dan di hajar masa habis-habisan,” kata Samsul pada ibunya sewaktu menjenguk Samsul di rumah sakit. Ibunya kucurkan air mata kesedihan. “Kenapa tega?! Tega sekali melukai anakku! Padahal ia tak mengambil apa-apa! Sekalian saja dimatikan, biar aku tambah sakit hati! Kenapa juga kau mencuri?! Siapa yang mengajari mencuri?!” “Maafin aku bu…maafin aku… aku tobat tidak mau mencuri lagi, tidak mabuk-mabukkan lagi. Tidak mau bergaul dengan mereka.” “Lain kali ucapanmu direkam. Biar ingat terus ucapanmu yang sekarang. Kenapa bicara tobat pas kau kena musibah? Dulu kau bagaimana? Ucap tobat sewaktu kau kecelakaan. Ibu sempat menangis-nangis karena bahagianya. Sekarang Ibu kecewa! Sakit hati! Kalau kelihatan cabe, sudah aku gerus!” “Maafin aku, Bu…! Tolong, jangan memarahi aku dulu! Aku sakit! Aku, akan coba to-bat. Asal Ibu.” “Asal apa? Nurutin permintaanmu?” “Maksudku, asal Bapak mau memaafkanku…” “Kamu sendiri yang minta maaf! gimana sih?!” “Baik, Bu….” Kedua raga tak ada suara. Ibu tetap mengucurkan air mata. Dan Samsul menahan sakit. Semua kenangan Samsul di masa kecil yang polos dan baik, hilang akibat segala hal yang merusak dirinya. Bapaknya hanya tukang becak dan ibunya seorang membantu mencucikan pakaian tetangga di sungai. Samsul frustasi atas keadaan ekonomi keluarganya, dan rusak keharmonisan keluarganya. *** BERSAMBUNG |
31st October 2013, 13:00 |
#2
|
Banned
|
Sampah Masyarakat Menyampah 2
SAMBUNGAN CERPEN 1
Dalam rumah Maman, Rio asik dalam bincang di siang berbalut awan hitam serasa ingin hujan. Walau akhirnya, mereka membicarakan tentang Samsul. “Gimana Kakak lu, Man?” “Emang gue pikirin… urusin keperluan gue aja enggak keurus. Lagian siapa suruh dia maling! Dasar sampah *******! Pelajaran buat kakak gue…,” kata Maman, teman Rio. “Ah, lu, kakak sendiri gak peduli’in. parah lu!” “Hahaha…bodoh. Lagian gue sering jadi korban. Dia sering ngamuk. Mecahin piring, gelas, dan sampai pernah mau adu jotos sama bokap gue... gue bela dah bokap. Akhirnya malah gue yang kena jotos. Biarin dah! yang penting bokap gak apa-apa.” “Balas lagi dong. Lu takut ya?” “Brengek! Lu apa-apa’an? Gue gak takut! Andai aja nyokap gue gak mencegah, udah gue balas perbuatannya.” “Keluarga lu ribut melulu. Pantes Samsul dengan watak mudah emosi, jadi liar kayak gitu.” “Gue intinya kesal. Gila! Gue ingat dia ngambil duit punya gue. Padahal itu duit buat ngapel ama pacar gue! Mau ngabisin waktu di pantai. Ampe batal rencana gue. Brengsek!” “Lu masih inget kakak gue dulu gak?” Maman melanjutkan. “Agak samar-samar inget. Sepertinya gak terlihat bejat. Sering ngajak lu main. Dan lu manja banget ama Samsul. Kakak lu baik. Sepertinya itu….” “Tapi itu waktu bokap gue belum di pecat dari kerjaannya. Hidup gue dan hidup lu sama. Kita anak orang mampu. Ingat nggak? Tapi kini hidup kita beda jauh. Bokap gue di pecat waktu gue berumur tujuh tahun, dan kakak gue berumur tiga belas tahun. Yah, nasib. Gue jadi anak tukang becak. “Apa-apa yang selalu dituruti bokap dan nyokap buat kakak gue, gak ada lagi… kebiasaan-kebiasaan yang terhambat membuat kakak jadi keganggu. Belum lagi orang tua pada ribut. Kakak pun makin doyan hidup malas-malasan. Pada akhirnya, orang tua makin sering memarahinya. Sekolah udah dibayar mahal, malah sering malas-malasan.” “Lu juga malas. Ngeyel lu…” “Hahaha… dikit.” “Dia bergaul ama anak sampah, hahahaha…Bergaulnya ngaco dia mah. Warga di sini lumayan ada sampah! Lumayan menjijikkan. Lu juga sampah.” “Lu yang sampah!” Sayup-sayup suara memanggil-manggil Maman. Suara itu makin terdengar di telinga Maman. Maman menoleh ke samping. Ke arah pintu. “Man, temani Ibumu ke rumah sakit.” “Ah, ngapain juga nemeni si Samsul.” “Kau tak kasihan sama Ibumu?” “Tapi bukan berarti aku kasihan sama si Samsul!” “Maman!” Bentak ayahnya. “Iya, iya, iya. Duh. Gak lihat anak lagi asik ngobrol. Main suruh aja.” “Membangkang saja disuruh orang tua.” “Bro! udah dulu. Gue mau ke rumah sakit. Lu mau ikut?” “Gak ah. Lu aja.” *** “Kakak, apa-apa’an. Nyuruh Ibu tetap di sini!” “Siapa suruh kamu datang ke sini?! Emang aku mau dijenguk kamu!” “Siapa juga yang mau? Bapakku nyuruh nemenin Ibu…” “Sudah Maman, sudah Samsul. Jangan pada berantem.” “Ingat pesan Ibu! Jangan sekali-kali ucapan tobatmu mempermainkan Ibu. Sikap kamu sangat menyakiti hati Ibu. Pesan Ibu, kalau mabuk lagi, kalau mencuri lagi, kalau menguras harta orang tua lagi, kamu tidak diakui anakku lagi.” “Mohon Bu, mohon. Jangan berkata itu… aku ingin tobat, tapi perlu juga bimbingan. Menghindar dari hal itu sangat sulit, Bu…Aku sungguh-sungguh, Bu. Aku ingin bertobat. Tapi jangan ada ucapan ‘tak diakui anak’, Bu….” Samsul berbaring dalam ketidakberdayaan. Ia merasakan sakit di rumah sakit akibat ulah masyarakat yang membenci sampah mengotori daerahnya. Ia jadi korban kekerasan akibat perbuatan mencurinya. Desakan ekonomi yang menyuruh dengan paksa, penuh emosi. Akhirnya akal hanya mengetahui satu jalan kehidupan, yaitu jalan keburukan. Pandangan dari luar terlihat banyak orang yang hilir mudik. Lalu lalang kendaraan bermotor pun silih berganti di sepanjang jalan. Tapi, terdapat pula gundukan sampah di samping rumah sakit. Dari dekat baunya terasa menyengat. Apa lagi, saat ini musim penghujan yang membuat bau tak mudah hilang. Pemandangan dan aroma yang tak sehat untuk orang yang tidak sehat di saat keluar-masuk rumah sakit. *** Cirebon, September 2010 Baca Karya Sastra Cerpen Penghias Mata |
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer