Tak ada pertanyaan itu yang diajukan untukku saat kecil dari orangtuaku. Namun, pernah dalam lintas lalu sekali, seiring kepindahanku di sana-sini -- tak menentu, aku (pernah) punya dua orang teman, ya... bisa dikatakan sahabat kecil. Kita ini tiga serangkai. Aku yang tertua satu tahun di antara keduanya. Meskipun begitu, kami sekolah di sekolahan yang sama, mengaji di surau yang sama, dan satu unggul, maka dua lainnya pun ikut unggul; benar adanya pepatah ini: bergaul dengan tukang minyak wangi, maka kau akan terciprati wanginya. Begitulah kami. Aku dan satu temanku, sebut saja M. Aku dan dia tak begitu menonjol. Kami sangat kontras dengan I -- si kawan yang selalu signifikan di lingkungan kami. Aku dan M selalu turut tergolongkan menjadi anak-anak unggulan di sekolah, pengajian, bahkan lingkup luar dunia kedua hal tersebut. Tapi sesungguhnya yang benar-benar cerdas, bersuara merdu, baik, dari keluarga yang amat sangat harmonis, yah -- dia. I yang sebetulnya menarik kami turut serta pada reputasi baik sebagai anak-anak.
Aku ini pasif. Pendiam dan cenderung cengeng saat kecil -- apa sekarang pun masih begitu? Mungkin, hehehe.
Bertolak belakang dengan Si M. Dia ceria dan pembangkang. Berani maju untuk hal tak baik. Dia memang begitu, banyak hal yang dilakukannya walaupun kami sudah remaja, kesemua kelakuannya selalu dicap buruk oleh lingkungan. Meskipun menurutku tidak juga. Jika ditilik zaman sekarang, kelakuannya dulu itu, anak-anak zaman sekarang sudah biasa melakukannya. Yang lalu tak biasa, di era kini itu hal biasa.
Dan I -- I sangat anutan dan tak ubahnya Timun Mas yang disayang ibunya serta keluarga lainnya -- semua tetangga dan bahkan warga desa sebelah, kagum akan lembut sikap serta kecerdasan dan betapa diseganinya keluarga kecil sederhana namun harmonis dan damai.
Jika dipikir, aku dan M suka sekali suasana rumah I. Kami inginnya pindah ke sana, dan kalau bisa diadopsi oleh ibu-bapaknya I sekalian.
Kami makan kentang goreng letoy. Serius! Kentang goreng yang kami makan saat di kamar I, tak enak dan dingin serta berminyak. Itu kami sendiri yang membuatnya. Kentang hasil meminta tetangga, si gaek yang kesepian.
Nanti kamu mau jadi apa? Itu pertanyaan I. Dan M menyimak sambil mengunyah kentang goreng letoy nan hambar, menyambar. Katanya, "Aku mau jadi pelatjur."
Di mana dia sebenarnya menemukan kata itu, huh? Tapi itu bukan hal aneh, jika melihat M memang anak bengal dan pergaulannya jauh mengerikan daripada aku dan I di usianya yang baru saja 13 tahun kala itu.
"Emang bagus?" ini pertanyaan konyol dari I. "Kalau begitu, aku juga mau jadi pelatjur."
Apa itu pelatjur? Kami tidak mengerti, hanya karena kata-kata itu meluncur dari mulut mungil M, maka kami sangat ingin menjadi pelatjur saat itu.
"Enak ga?" tanya orang di hadapanku di masa kini.
Aku mengambil satu iris daging ayam tepung dan kentang goreng punyaku. Menu yang kupilih. Kentang gorengnya renyah, tak letoy. Dan alih-alih fokus -- menjawab pertanyaan si manis di depanku, aku bertanya balik padanya, "Kamu mau jadi apa?"
Dia menatap penuh tanya. "Eh?"
"Waktu kecil, dulu kamu mau menjadi apa saat sudah besar?"
"Aahhh," jawabnya sembari menaruh sumpit dan berdecak mengenang masa kecilnya. "Ah... aku punya banyak mau,"
Dan dia mengambil kembali sumpit, lalu mencomot dengannya makanannya. "Astronaut!" serunya girang dengan mulut penuh makanan. "Kamu?"
Aku tersenyum. Dan kopi sebagai minuman penutup kami, mengepulkan asap kecil ke udara.
"Mau ke distrik merah?"
"Eehh??!"
Aku tertawa memakan suapan terakhir.
"Ikut aku," setelah menyesap kopi hangat, kukatakan sambil bercanda, "Kau mau tidur dengar mereka atau denganku?"
"Eeehh??!"
Cewek gila. Dalam hatinya mungkin berkata begitu.
"Jika tidur bersama tanpa ikatan menikah bisa diartikan melatjurkan diri, bayaranku murah, ya? Hanya seporsi makan malam." Aku mendengus kecil, lalu menyodorkan kopi punyanya. "Cepat minum," suruhku tak sabar. "Mari kita pulang, dan kita tidur bersama."
"Astaga!" dia terkejut. "Kamu memang aneh."
"Jangan lupakan aku, ya?"
"Tidak ada yang bisa lupakan orang aneh," ledeknya tertawa. Dan tanyanya, "Apa cita-citamu waktu kecil?"
Aku tersenyum padanya menyusuri pedestrian dan berharap tak ada orang lalu-lalang di sekitar sini.
Aku merebahkan diri di trotoar, dan akuku, "Tidur dengan orang terbaik dari yang paling baik!"
"Eehhhh??!"
"Jalannya bersih, bisa untuk tidur! Kenapa kita tidak tidur di sini saja -- pura-pura mabuk!" aku tertawa bebas. Rasanya hari ini... aku mau hidup seribu tahun lagi. Mengutip puisi dari Bung Chairil; walaupun peluru menghadang menerjang! -- walaupun cobaan hidup mendera dan merajangku, aku ingin hidup seribu tahun lagi....
"Kemarilah, sayang! Oh, cinta... gauli aku sesukamu!"
Dia berjalan cepat-cepat dengan tas punggungnya bergerak-gerak beraturan. Sambil meninggalkanku yang menggelosor seperti pengemis teler, serunya seraya menggelengkan kepala. "Ya, ampun! Mana bisa aku lupa gadis sepertimu!"
"Hey! I'm yours, sweetie! Ayo, aku murah saja, kok! Hanya sekeping cinta bayaranku."
Dia menggeleng dan berbalik arah. Lalu dengan wajah merah dan malu, ujarnya menahan tatapan heran orang-orang, "Bangun, ayo! Aduh...."
Sudah larut malam. Tak ada tempat berpulang di saat sudah letih, selain hati kita sendiri yang damai dan siap menerima hari esok dengan setumpuk energi baik di pagi hari.
Semoga ruhmu bahagia di Surga sana, M.
Kuharap, keluarga kecil yang kaubina menemukan jalannya sendiri menjadi hamparan masa depan yang bahagia, I.
Dan semoga kau selalu mampu optimis, hei, aku....
Oyasumi.... (^_~)
Last edited by luntzpandis; 19th August 2020 at 23:50..
Tak ada pertanyaan itu yang diajukan untukku saat kecil dari orangtuaku. Namun, pernah dalam lintas lalu sekali, seiring kepindahanku di sana-sini -- tak menentu, aku (pernah) punya dua orang teman, ya... bisa dikatakan sahabat kecil. Kita ini tiga serangkai. Aku yang tertua satu tahun di antara keduanya. Meskipun begitu, kami sekolah di sekolahan yang sama, mengaji di surau yang sama, dan satu unggul, maka dua lainnya pun ikut unggul; benar adanya pepatah ini: bergaul dengan tukang minyak wangi, maka kau akan terciprati wanginya. Begitulah kami. Aku dan satu temanku, sebut saja M. Aku dan dia tak begitu menonjol. Kami sangat kontras dengan I -- si kawan yang selalu signifikan di lingkungan kami. Aku dan M selalu turut tergolongkan menjadi anak-anak unggulan di sekolah, pengajian, bahkan lingkup luar dunia kedua hal tersebut. Tapi sesungguhnya yang benar-benar cerdas, bersuara merdu, baik, dari keluarga yang amat sangat harmonis, yah -- dia. I yang sebetulnya menarik kami turut serta pada reputasi baik sebagai anak-anak.
Aku ini pasif. Pendiam dan cenderung cengeng saat kecil -- apa sekarang pun masih begitu? Mungkin, hehehe.
Bertolak belakang dengan Si M. Dia ceria dan pembangkang. Berani maju untuk hal tak baik. Dia memang begitu, banyak hal yang dilakukannya walaupun kami sudah remaja, kesemua kelakuannya selalu dicap buruk oleh lingkungan. Meskipun menurutku tidak juga. Jika ditilik zaman sekarang, kelakuannya dulu itu, anak-anak zaman sekarang sudah biasa melakukannya. Yang lalu tak biasa, di era kini itu hal biasa.
Dan I -- I sangat anutan dan tak ubahnya Timun Mas yang disayang ibunya serta keluarga lainnya -- semua tetangga dan bahkan warga desa sebelah, kagum akan lembut sikap serta kecerdasan dan betapa diseganinya keluarga kecil sederhana namun harmonis dan damai.
Jika dipikir, aku dan M suka sekali suasana rumah I. Kami inginnya pindah ke sana, dan kalau bisa diadopsi oleh ibu-bapaknya I sekalian.
Kami makan kentang goreng letoy. Serius! Kentang goreng yang kami makan saat di kamar I, tak enak dan dingin serta berminyak. Itu kami sendiri yang membuatnya. Kentang hasil meminta tetangga, si gaek yang kesepian.
Nanti kamu mau jadi apa? Itu pertanyaan I. Dan M menyimak sambil mengunyah kentang goreng letoy nan hambar, menyambar. Katanya, "Aku mau jadi pelatjur."
Di mana dia sebenarnya menemukan kata itu, huh? Tapi itu bukan hal aneh, jika melihat M memang anak bengal dan pergaulannya jauh mengerikan daripada aku dan I di usianya yang baru saja 13 tahun kala itu.
"Emang bagus?" ini pertanyaan konyol dari I. "Kalau begitu, aku juga mau jadi pelatjur."
Apa itu pelatjur? Kami tidak mengerti, hanya karena kata-kata itu meluncur dari mulut mungil M, maka kami sangat ingin menjadi pelatjur saat itu.
"Enak ga?" tanya orang di hadapanku di masa kini.
Aku mengambil satu iris daging ayam tepung dan kentang goreng punyaku. Menu yang kupilih. Kentang gorengnya renyah, tak letoy. Dan alih-alih fokus -- menjawab pertanyaan si manis di depanku, aku bertanya balik padanya, "Kamu mau jadi apa?"
Dia menatap penuh tanya. "Eh?"
"Waktu kecil, dulu kamu mau menjadi apa saat sudah besar?"
"Aahhh," jawabnya sembari menaruh sumpit dan berdecak mengenang masa kecilnya. "Ah... aku punya banyak mau,"
Dan dia mengambil kembali sumpit, lalu mencomot dengannya makanannya. "Astronaut!" serunya girang dengan mulut penuh makanan. "Kamu?"
Aku tersenyum. Dan kopi sebagai minuman penutup kami, mengepulkan asap kecil ke udara.
"Mau ke distrik merah?"
"Eehh??!"
Aku tertawa memakan suapan terakhir.
"Ikut aku," setelah menyesap kopi hangat, kukatakan sambil bercanda, "Kau mau tidur dengar mereka atau denganku?"
"Eeehh??!"
Cewek gila. Dalam hatinya mungkin berkata begitu.
"Jika tidur bersama tanpa ikatan menikah bisa diartikan melatjurkan diri, bayaranku murah, ya? Hanya seporsi makan malam." Aku mendengus kecil, lalu menyodorkan kopi punyanya. "Cepat minum," suruhku tak sabar. "Mari kita pulang, dan kita tidur bersama."
"Astaga!" dia terkejut. "Kamu memang aneh."
"Jangan lupakan aku, ya?"
"Tidak ada yang bisa lupakan orang aneh," ledeknya tertawa. Dan tanyanya, "Apa cita-citamu waktu kecil?"
Aku tersenyum padanya menyusuri pedestrian dan berharap tak ada orang lalu-lalang di sekitar sini.
Aku merebahkan diri di trotoar, dan akuku, "Tidur dengan orang terbaik dari yang paling baik!"
"Eehhhh??!"
"Jalannya bersih, bisa untuk tidur! Kenapa kita tidak tidur di sini saja -- pura-pura mabuk!" aku tertawa bebas. Rasanya hari ini... aku mau hidup seribu tahun lagi. Mengutip puisi dari Bung Chairil; walaupun peluru menghadang menerjang! -- walaupun cobaan hidup mendera dan merajangku, aku ingin hidup seribu tahun lagi....
"Kemarilah, sayang! Oh, cinta... gauli aku sesukamu!"
Dia berjalan cepat-cepat dengan tas punggungnya bergerak-gerak beraturan. Sambil meninggalkanku yang menggelosor seperti pengemis teler, serunya seraya menggelengkan kepala. "Ya, ampun! Mana bisa aku lupa gadis sepertimu!"
"Hey! I'm yours, sweetie! Ayo, aku murah saja, kok! Hanya sekeping cinta bayaranku."
Dia menggeleng dan berbalik arah. Lalu dengan wajah merah dan malu, ujarnya menahan tatapan heran orang-orang, "Bangun, ayo! Aduh...."
Sudah larut malam. Tak ada tempat berpulang di saat sudah letih, selain hati kita sendiri yang damai dan siap menerima hari esok dengan setumpuk energi baik di pagi hari.
Semoga ruhmu bahagia di Surga sana, M.
Kuharap, keluarga kecil yang kaubina menemukan jalannya sendiri menjadi hamparan masa depan yang bahagia, I.
Dan semoga kau selalu mampu optimis, hei, aku....
Boleh kak, silakan kalau kakak mau menggali memori sharing di sini
memori kusimpan sendiri, sebagian di otak sebagian di agenda sebagian di file excel bukan buat disharing
tiati dewasa sebelum waktunya sering sering juga tua sebelum waktunya
memori kusimpan sendiri, sebagian di otak sebagian di agenda sebagian di file excel bukan buat disharing
tiati dewasa sebelum waktunya sering sering juga tua sebelum waktunya
Jujur... sebenarnya, kadang aku merasa waktu 1x24 jam itu tak cukup. Karena tidak menampik sama sekali, aku orang yang cukup ingin tahu alias kepo dalam dunia pergosipan. Kadang jika gosip itu menarik perhatianku, aku ingin menimbrung. Dan jika tak suka, ya woles aja! Dan masalahnya, susah sekali hadir di sini, bahkan menulis setiap hari saja di rumah kecil bersarang labah-labah ini, rasanya seperti perjuangan dari antah berantah menuju ke kota.
Oke! Mari aku bahas satu memoar saja dulu. Karena setelah dari sini, aku pun harus membalas surel dari satu-dua user di seberang nun jauh di sana. Beberapa orang yang mendukung tulisanku, dan beberapanya menyemangati kalau aku beda -- tulisanku, sebuah bentuk karya amatiranku katanya memiliki gaya bahasa tersendiri. Ihihihiii agak malu dan melambung ke atap genteng dipuji begitu
Aku mencintai mereka, yang mendukung sedikit-dua dikit terhadap perkembangan mentalku dalam berkarya. Karena aku orang yang kembali cerah dan awan mendung sesegera mungkin menyingkir jikalau ada orang yang begitu manis budinya dan halus memperlakukanku. Dan karena aku orang yang sukar bangkit jikalau diterjang oleh hal-hal yang menurutku kasar dan tak acuh, maka aku bisa tenggelam ke dasar putus asa. Jadi, aku akan menyegerakan inti memoar kali ini demi membalas surel dari mereka para pembaca terkecilku yang sangat kuhargai^^
Memoar: Orang Dewasa (Vol. 2)
Spoiler
Kasus 1:
Saya pulang terlambat. Sekitar tengah malam sampai rumah. Makan malam duluan saja, ya. See ya!
Itu pesan dari Suwirno. Anggaplah Suwirno suaminya Markonah.
Markonah menggerutu, karena nyaris setiap hari, suaminya pulang terlambat bekerja. Alasannya menemani bos minum-minum. Memang masuk di akal, karena Suwirno itu bawahan, dan otomatis akan merasa segan jikalau menolak permintaan atasan minum-minum atau sekadar makan-makan nakal -- you know what I mean? Yah... dunia orang dewasa; pria dewasa dan kebiasaan menjilat sepatu bosnya! Apabila Suwirno tak ikut acara minum-minum, maka bisa dipastikan, ada beberapa faktor yang menyebabkan karier Suwirno mundur ketimbang rekan lainnya yang tak pernah absen ikut acara minum-minum bersama bos.
Markonah merasa suaminya ga peka! Setiap hari pulang terlambat, bahkan saat akhir pekan pun, Suwirno kadang pergi menekuni hobi bersama teman seperloncoannya.
Ada ketegangan di antara keduanya. Akhirnya Suwirno bilang, "Saya pikir kamu mengerti saya. Itulah kenapa saya menikah denganmu, karena saya pikir kamu mengerti bahwa ini kehidupan saya."
Kasus 2:
Juminten ngambek sama suaminya. Dia merasa, suaminya mulai pelit dan perhitungan masalah pengeluaran.
Bagi Juminten, ini hal sepele. Murah! Barang remeh-temeh yang dikeluhkan suaminya itu barang murah, dan kenapa pula suaminya jadi perhitungan?
Juminten akhirnya marah-marah bilang begini, "Dulu kamu janji akan membahagiakanku, kan? Ini kebahagiaanku. Aku hanya membeli rok mini biasa aja, kok! Ga mahal! Aku juga ga lupa belikan kamu kaus, nih!"
Dua kasus berbeda tapi saling bertautan menurutku. Kenapa? Karena rumus hidup bersama antara logika pria dan wanita itu berbeda. Pria menikahi wanita pilihannya dengan harapan tak berubah, sedangkan wanita berharap menikahi pria pilihannya agar bisa berubah.
Yep! Pria menikah, berharap dirinya dan pasangannya tidak berubah. Hal-hal kecil bahkan kejorokkan misalnya, harapan pria itu tidak ada yang berubah. Kesibukan pria, main bersama teman-temannya, ke sana-ke sini, pulang tepat waktu atau terlambat, pria berharap itu tidak berubah, namun... pria berharap pasangannya mengerti. Menerima.
Dan berbeda hal dengan wanita -- wanita menikahi pria kadang dengan angan-angan bahwa dirinya atau bahkan prianya kelak akan berubah; berubah dalam banyak aspek. Wanita ingin pria itu berubah agar pria lebih banyak meluangkan waktu bersamanya -- keluarga kecilnya, wanita ingin pria itu berubah menjadi seperti apa yang wanita itu mau, wanita ingin pria berubah jadi menurut dan iya -- bilang saja iya untuk semua urusan. Dan wanita ingin dirinya sendiri berubah menjadi lebih baik menurut versinya; boros. Padahal dulunya dia itu orang hemat dan tahu mana kebutuhan serta keinginan.
Dari zaman purba, wanita dan pria itu memiliki kompleksitasnya sendiri. Orang beranggapan pria itu makhluk simpel, dan wanita rumit; padahal menurutku, kedua-duanya sama-sama rumit -- punya alur rumus kesukaran masing-masing.
Dan pada akhirnya....
Markonah dan Suwirno saling belajar memahami dan mengerti kebutuhan masing-masing. Dengan komunikasi yang baik dan terarah. Pun dengan Si Juminten dan suaminya. Jika dipikir lagi oleh Juminten, benar juga kata suaminya. Kenapa dia terus-terusan beli rok mini dengan warna yang sama pula? Punya satu, rasanya cukup! Memangnya pantat dia ada banyak? Sehingga harus memakai rok serupa dalam satu kali waktu? Juminten kadang lupa... dia lupa ketika dulu suaminya menikahinya itu karena dia cewek hemat. Poin plus di mata suaminya.
Dan Suwirno pun merenung. Kalau di pikir balik ke belakang, dia banyak lembur kerja dan sering membuat batal janji kencan dengan istrinya lantaran merasa tak enak hati dengan temannya yang selalu mengajak bermain di akhir pekan.
Lagi pula, kepada teman bisa merasa sungkan, kenapa kepada istrinya dia semena-mena? Istrinya juga manusia yang punya waktu 24 jam sama seperti dirinya. Istrinya pun punya hobi dan teman. Tapi istrinya masih sempat masak dan bahkan dandan cantik selepas mandi hanya demi menyenangkan padangan suaminya. Benar juga... Suwirno eling. Dia eling dan ingat memori ketika melamar istrinya dulu. Kalau dirinya mengucap ikrar suci pernikahan bahwa akan siap setia di kala susah-senang, sakit-sehat, malang-mujur bersama istrinya. Lantas kenapa sekarang dia kini hanya memenuhi janji susah, sakit, dan malangnya saja? Istrinya berhak dipenuhi haknya; hak senang, sehat, dan mujur bersama dirinya.
Pernikahan & Orang dewasa.
Pernikahan orang dewasa, tidak sama satu dan yang lainnya. Tapi intinya serupa: Ingin bahagia bersama.
Cheers!
Last edited by luntzpandis; 31st August 2020 at 22:21..
Jujur... sebenarnya, kadang aku merasa waktu 1x24 jam itu tak cukup. Karena tidak menampik sama sekali, aku orang yang cukup ingin tahu alias kepo dalam dunia pergosipan. Kadang jika gosip itu menarik perhatianku, aku ingin menimbrung. Dan jika tak suka, ya woles aja! Dan masalahnya, susah sekali hadir di sini, bahkan menulis setiap hari saja di rumah kecil bersarang labah-labah ini, rasanya seperti perjuangan dari antah berantah menuju ke kota.
Oke! Mari aku bahas satu memoar saja dulu. Karena setelah dari sini, aku pun harus membalas surel dari satu-dua user di seberang nun jauh di sana. Beberapa orang yang mendukung tulisanku, dan beberapanya menyemangati kalau aku beda -- tulisanku, sebuah bentuk karya amatiranku katanya memiliki gaya bahasa tersendiri. Ihihihiii agak malu dan melambung ke atap genteng dipuji begitu
Aku mencintai mereka, yang mendukung sedikit-dua dikit terhadap perkembangan mentalku dalam berkarya. Karena aku orang yang kembali cerah dan awan mendung sesegera mungkin menyingkir jikalau ada orang yang begitu manis budinya dan halus memperlakukanku. Dan karena aku orang yang sukar bangkit jikalau diterjang oleh hal-hal yang menurutku kasar dan tak acuh, maka aku bisa tenggelam ke dasar putus asa. Jadi, aku akan menyegerakan inti memoar kali ini demi membalas surel dari mereka para pembaca terkecilku yang sangat kuhargai^^
Memoar: Orang Dewasa (Vol. 2)
Spoiler
Kasus 1:
Saya pulang terlambat. Sekitar tengah malam sampai rumah. Makan malam duluan saja, ya. See ya!
Itu pesan dari Suwirno. Anggaplah Suwirno suaminya Markonah.
Markonah menggerutu, karena nyaris setiap hari, suaminya pulang terlambat bekerja. Alasannya menemani bos minum-minum. Memang masuk di akal, karena Suwirno itu bawahan, dan otomatis akan merasa segan jikalau menolak permintaan atasan minum-minum atau sekadar makan-makan nakal -- you know what I mean? Yah... dunia orang dewasa; pria dewasa dan kebiasaan menjilat sepatu bosnya! Apabila Suwirno tak ikut acara minum-minum, maka bisa dipastikan, ada beberapa faktor yang menyebabkan karier Suwirno mundur ketimbang rekan lainnya yang tak pernah absen ikut acara minum-minum bersama bos.
Markonah merasa suaminya ga peka! Setiap hari pulang terlambat, bahkan saat akhir pekan pun, Suwirno kadang pergi menekuni hobi bersama teman seperloncoannya.
Ada ketegangan di antara keduanya. Akhirnya Suwirno bilang, "Saya pikir kamu mengerti saya. Itulah kenapa saya menikah denganmu, karena saya pikir kamu mengerti bahwa ini kehidupan saya."
Kasus 2:
Juminten ngambek sama suaminya. Dia merasa, suaminya mulai pelit dan perhitungan masalah pengeluaran.
Bagi Juminten, ini hal sepele. Murah! Barang remeh-temeh yang dikeluhkan suaminya itu barang murah, dan kenapa pula suaminya jadi perhitungan?
Juminten akhirnya marah-marah bilang begini, "Dulu kamu janji akan membahagiakanku, kan? Ini kebahagiaanku. Aku hanya membeli rok mini biasa aja, kok! Ga mahal! Aku juga ga lupa belikan kamu kaus, nih!"
Dua kasus berbeda tapi saling bertautan menurutku. Kenapa? Karena rumus hidup bersama antara logika pria dan wanita itu berbeda. Pria menikahi wanita pilihannya dengan harapan tak berubah, sedangkan wanita berharap menikahi pria pilihannya agar bisa berubah.
Yep! Pria menikah, berharap dirinya dan pasangannya tidak berubah. Hal-hal kecil bahkan kejorokkan misalnya, harapan pria itu tidak ada yang berubah. Kesibukan pria, main bersama teman-temannya, ke sana-ke sini, pulang tepat waktu atau terlambat, pria berharap itu tidak berubah, namun... pria berharap pasangannya mengerti. Menerima.
Dan berbeda hal dengan wanita -- wanita menikahi pria kadang dengan angan-angan bahwa dirinya atau bahkan prianya kelak akan berubah; berubah dalam banyak aspek. Wanita ingin pria itu berubah agar pria lebih banyak meluangkan waktu bersamanya -- keluarga kecilnya, wanita ingin pria itu berubah menjadi seperti apa yang wanita itu mau, wanita ingin pria berubah jadi menurut dan iya -- bilang saja iya untuk semua urusan. Dan wanita ingin dirinya sendiri berubah menjadi lebih baik menurut versinya; boros. Padahal dulunya dia itu orang hemat dan tahu mana kebutuhan serta keinginan.
Dari zaman purba, wanita dan pria itu memiliki kompleksitasnya sendiri. Orang beranggapan pria itu makhluk simpel, dan wanita rumit; padahal menurutku, kedua-duanya sama-sama rumit -- punya alur rumus kesukaran masing-masing.
Dan pada akhirnya....
Markonah dan Suwirno saling belajar memahami dan mengerti kebutuhan masing-masing. Dengan komunikasi yang baik dan terarah. Pun dengan Si Juminten dan suaminya. Jika dipikir lagi oleh Juminten, benar juga kata suaminya. Kenapa dia terus-terusan beli rok mini dengan warna yang sama pula? Punya satu, rasanya cukup! Memangnya pantat dia ada banyak? Sehingga harus memakai rok serupa dalam satu kali waktu? Juminten kadang lupa... dia lupa ketika dulu suaminya menikahinya itu karena dia cewek hemat. Poin plus di mata suaminya.
Dan Suwirno pun merenung. Kalau di pikir balik ke belakang, dia banyak lembur kerja dan sering membuat batal janji kencan dengan istrinya lantaran merasa tak enak hati dengan temannya yang selalu mengajak bermain di akhir pekan.
Lagi pula, kepada teman bisa merasa sungkan, kenapa kepada istrinya dia semena-mena? Istrinya juga manusia yang punya waktu 24 jam sama seperti dirinya. Istrinya pun punya hobi dan teman. Tapi istrinya masih sempat masak dan bahkan dandan cantik selepas mandi hanya demi menyenangkan padangan suaminya. Benar juga... Suwirno eling. Dia eling dan ingat memori ketika melamar istrinya dulu. Kalau dirinya mengucap ikrar suci pernikahan bahwa akan siap setia di kala susah-senang, sakit-sehat, malang-mujur bersama istrinya. Lantas kenapa sekarang dia kini hanya memenuhi janji susah, sakit, dan malangnya saja? Istrinya berhak dipenuhi haknya; hak senang, sehat, dan mujur bersama dirinya.
Pernikahan & Orang dewasa.
Pernikahan orang dewasa, tidak sama satu dan yang lainnya. Tapi intinya serupa: Ingin bahagia bersama.
Cheers!
kalo liat orang mudah putus asa gini biasanya aku suka pengin ngrusuh
Sekiranya aku ayam, apakah di hari ini aku tengah mematuk-matuk di tanah atau rumput, mungkin pula jerami? Apa bunyiku? Kukuruyuk? Rasanya tidak. Menjadi ayam terlalu bijaksana untukku. Ayam, dalam pandanganku sangat bijak dan tekun, dan aku tidak begitu.
Dan apabila aku sebatang pohon, tumbuh di manakah aku? Pinggiran sungai, jalanan pembatas trotoar, ataukah di depan rumah seseorang? Berapa banyak hama dari dedaunanku? Serindang atau segundul itukah rimbunan daun-daunku? Tidak. Menjadi pohon terlalu mulia bagiku. Di sudut pandangku, pohon itu sungguh mulia -- akar tertancap kuat ke tanah, lalu berfotosintesis ketika mentari terbit hingga meninggi. Dan mengeluarkan karbondioksida pada malam hari; sungguh mulia proses kehidupan sebatang pohon.
Dan jika aku adalah seekor burung, jenis apa aku? Pipit, camar, atau merpati? Ke manakah aku akan terbang; angkasa raya di benua mana aku kemudian menemukan tangan halus yang menangkapku tatkala sedang bersantai di sebatang pohon? Tanganmu -- aku ingin tanganmu yang menangkapku, duhai rindu yang menyala bak percikan api tungku.
Tanganmu -- aku gusar! Tubuh kecil bersayapku dalam kuasamu. Satu jari tangan, menekan leher serta dada lalu perut mungilku. Paruhku, menyentuh kulit hangat berdenyut nadinya. Mataku berbinar membulat menghunjam ceruk keabuan. Itu dia balas memandang -- aduh, rasanya mati sekejap kehidupanku. Melarat sudah nyaliku.
Kepak,
Kepak,
Kepak,
Sayapku tak terdapat bulu lagi.
Aku terperangkap! Sangkarnya mana? Oh, tak ada jawaban. Apakah benar dia akan memeliharaku? Susu! Aku teronggok bebas di hadapan semangkuk putih cair berbau amis. Manisku ingin menerkam. Hap! Tidak kena. Akhir hidupku, tak mungkin di lambung si manis berbulu hitam-putih. Karena aku tahu, takdirku sendiri. Sebangsa aku -- burung liar yang membelok ke cakrawala mana saja setiap harinya, tahu betul siapa kini yang sudah meraihnya.
Terangkat! Tubuhku lemas dan sulit bergerak. Agak kabur pandanganku.
Hijau, itu daun.
Putih, itu awan.
Abu-abu, itu warna bola mata.
Hitam, itu warna kematian.
Tidak sekarang....
Bunyi lirih diakhiri tawa melecehkan. Itu suaranya, berat tak pandai merafalkan huruf, nyaris seperti orang gagu.
Weker!
Spoiler
Aku bangun dengan bunyi weker sialan berkerincing. Ini hari Minggu, biasanya ketika dulu, ah... siapa ya nama pria berumur kala aku duduk di bangku kelas delapan itu? Ah, ya! A -- Bapak A. Yah, sebutlah begitu. Aku pernah diajaknya berkeliling naik motor merah jadul! Lupa merek, namun motor ini seperti kerangka. Aku diboncengnya di depan, dan wajahnya seringkali terterpa helaian rambutku yang disibak angin. Tak ada helm ataupun pengaman. Itu, kala itu, suasana desa begitu permai dan rasanya, hanya satu-dua orang saja yang tampak berkeliaran di hari tersebut.
Aku makan sate. Dulu, makanan itu terasa mewah dan luar biasa! Pak A sering membelikanku sejenis protein hewani setiap satu minggu sekali. Katanya, aku sedang masa pertumbuhan. Aku senang bukan kepalang! Sepulang dari makan sembari jalan-jalan sore, selalu ada pasar rakyat dengan segala macam jenis orang jualan. Aku selalu terpikat dengan permen kapas. Warnanya merah muda dan besar bagai kepala raksasa. Pak A membelikanku itu. Dimakannya saat itu juga dan gigiku terasa linu sesudahnya. Pak A bilang, nanti saat tiba di rumah, aku akan diberikannya obat pereda sakit gigi. Dan tak sampai beberapa menit, ada donat bertabur kacang dan gula di atasnya. Sakit gigiku mendadak hilang, dan aku manja ingin dibelikan donat itu! Pak A tertawa, dan aku dapat donat dua buah. Hari itu, mulai malam. Dan sebelum pulang, Pak A membelikanku baju -- sejenis kaus-kaus bergambar binatang atau buah-buahan. Jika dipikir sekarang, kenapa ada baju bermotif seperti itu? Aku selalu cekikikan mengingat baju-baju tersebut.
Sekali waktu setelah kenaikan kelas, aku pernah diajaknya ke Jakarta. Ke wahana permainan dan bermain di laut. Di sana, aku pernah makan hidangan ikan agak asam. Ayam dan banyak lagi. Tapi yang kuingat, ikan bumbu asam itu. Pulangnya, Pak A membeli ponsel Nokia. Bentuknya bagus! Zaman dulu, sangat unik dan jarang orang punya. Ditanyalah aku, apakah aku mau? Kataku, untuk apa? Dia tersenyum -- senyum itu membuat ngilu ulu hati; ini ayahku! Begitu batinku. Tapi bukan. Dia bukan siapa-siapa aku, dia hanya orang tua yang sering aku merengek memintanya nilai minimal B walau tanpa ikut ujian. Aku anak emas, dia pernah berkata begitu. Persetan! Bahasaku kali ini.
Aku dapat ponsel serupa dengannya. Dan sama sekali apa bagusnya untukku punya itu? Aku hanya mau ikan bumbu asam itu lagi!
Aku suka buku. Aku bisa patah hati hanya karena buku; jika buku yang kumau tak bisa kubaca, aku sakit di bagian ini: jantungku! Tapi masih berdenyut, entah kenapa walaupun rasanya sakit.
Itu adalah kisah pemuda miskin. Kata Pak A. Dan tidak bagus anak sepertiku membaca hal seperti itu. Dan di lain waktu, aku ingin menonton film. Kata Pak A, jangan tontonan yang seperti ini! Ini untuk dewasa. Tapi... dari mulai buku dan film yang dilarangnya, semua itu Pak A sendiri yang menceritakannya. Kisah pemuda miskin karya penulis Prancis, lalu sebuah film tentang gadis yang bisa menggigit pen!s seorang pria. Semua itu, dia sendiri yang menceritakannya. Dan saat aku patah hati karena tidak bisa membaca dan menontonnya, aku benci Pak A! Dia tidak baik, dia mengekang hal yang seharusnya diajarkannya secara betul-betul. Tidak setengah-setengah!
Pak A menua, lalu mati dan aku mulai dewasa. Lalu aku kemarin ini, rasanya, melihat serupa Pak A dalam sekelebat manusia. Tingginya, sorot matanya, bungkuk punggungnya, lalu kedipannya, senyum mengurai kepicikannya, dan jakunnya yang bergerak ketika menelan ludahnya, juga... juga cara manusia itu melenggokkan kedua pijakannya, itu persis Pak A.
Aku pusing seketika. Tapi kemudian menerima kenyataan dan memastikan aku terkendali penuh tidak terbawa nuansa melankolis. Perpindahan stabil menuju ketidakstabilan, tidak enak dirasa. Dan segalanya berubah sekejap! Aku rindu Pak A! Kebencianku ingin kutumpahkan pada manusia satu itu.
Tapi tidak. Itu tidak terjadi. Sebelum aku berbuat hal aneh kepada manusia itu, aku kembali di rumah asliku. Seorang aku yang diam, dan tidak banyak tingkah.
Tapi... bolehlah aku mencium sembarang orang.
Siapa sajalah yang muncul tiba-tiba. Kalau sampai terjadi hal tak terduga, yah... paling-paling, si penakut tukang tulis ini menyalahkanku hahahaha!
Amboi! Selimut bergerak sendiri, sedangkan aku menyesap kopi dan mengetikkan jari-jari di sini....
Last edited by luntzpandis; 13th September 2020 at 09:09..
Sekiranya aku ayam, apakah di hari ini aku tengah mematuk-matuk di tanah atau rumput, mungkin pula jerami? Apa bunyiku? Kukuruyuk? Rasanya tidak. Menjadi ayam terlalu bijaksana untukku. Ayam, dalam pandanganku sangat bijak dan tekun, dan aku tidak begitu.
Dan apabila aku sebatang pohon, tumbuh di manakah aku? Pinggiran sungai, jalanan pembatas trotoar, ataukah di depan rumah seseorang? Berapa banyak hama dari dedaunanku? Serindang atau segundul itukah rimbunan daun-daunku? Tidak. Menjadi pohon terlalu mulia bagiku. Di sudut pandangku, pohon itu sungguh mulia -- akar tertancap kuat ke tanah, lalu berfotosintesis ketika mentari terbit hingga meninggi. Dan mengeluarkan karbondioksida pada malam hari; sungguh mulia proses kehidupan sebatang pohon.
Dan jika aku adalah seekor burung, jenis apa aku? Pipit, camar, atau merpati? Ke manakah aku akan terbang; angkasa raya di benua mana aku kemudian menemukan tangan halus yang menangkapku tatkala sedang bersantai di sebatang pohon? Tanganmu -- aku ingin tanganmu yang menangkapku, duhai rindu yang menyala bak percikan api tungku.
Tanganmu -- aku gusar! Tubuh kecil bersayapku dalam kuasamu. Satu jari tangan, menekan leher serta dada lalu perut mungilku. Paruhku, menyentuh kulit hangat berdenyut nadinya. Mataku berbinar membulat menghunjam ceruk keabuan. Itu dia balas memandang -- aduh, rasanya mati sekejap kehidupanku. Melarat sudah nyaliku.
Kepak,
Kepak,
Kepak,
Sayapku tak terdapat bulu lagi.
Aku terperangkap! Sangkarnya mana? Oh, tak ada jawaban. Apakah benar dia akan memeliharaku? Susu! Aku teronggok bebas di hadapan semangkuk putih cair berbau amis. Manisku ingin menerkam. Hap! Tidak kena. Akhir hidupku, tak mungkin di lambung si manis berbulu hitam-putih. Karena aku tahu, takdirku sendiri. Sebangsa aku -- burung liar yang membelok ke cakrawala mana saja setiap harinya, tahu betul siapa kini yang sudah meraihnya.
Terangkat! Tubuhku lemas dan sulit bergerak. Agak kabur pandanganku.
Hijau, itu daun.
Putih, itu awan.
Abu-abu, itu warna bola mata.
Hitam, itu warna kematian.
Tidak sekarang....
Bunyi lirih diakhiri tawa melecehkan. Itu suaranya, berat tak pandai merafalkan huruf, nyaris seperti orang gagu.
Weker!
Spoiler
Aku bangun dengan bunyi weker sialan berkerincing. Ini hari Minggu, biasanya ketika dulu, ah... siapa ya nama pria berumur kala aku duduk di bangku kelas delapan itu? Ah, ya! A -- Bapak A. Yah, sebutlah begitu. Aku pernah diajaknya berkeliling naik motor merah jadul! Lupa merek, namun motor ini seperti kerangka. Aku diboncengnya di depan, dan wajahnya seringkali terterpa helaian rambutku yang disibak angin. Tak ada helm ataupun pengaman. Itu, kala itu, suasana desa begitu permai dan rasanya, hanya satu-dua orang saja yang tampak berkeliaran di hari tersebut.
Aku makan sate. Dulu, makanan itu terasa mewah dan luar biasa! Pak A sering membelikanku sejenis protein hewani setiap satu minggu sekali. Katanya, aku sedang masa pertumbuhan. Aku senang bukan kepalang! Sepulang dari makan sembari jalan-jalan sore, selalu ada pasar rakyat dengan segala macam jenis orang jualan. Aku selalu terpikat dengan permen kapas. Warnanya merah muda dan besar bagai kepala raksasa. Pak A membelikanku itu. Dimakannya saat itu juga dan gigiku terasa linu sesudahnya. Pak A bilang, nanti saat tiba di rumah, aku akan diberikannya obat pereda sakit gigi. Dan tak sampai beberapa menit, ada donat bertabur kacang dan gula di atasnya. Sakit gigiku mendadak hilang, dan aku manja ingin dibelikan donat itu! Pak A tertawa, dan aku dapat donat dua buah. Hari itu, mulai malam. Dan sebelum pulang, Pak A membelikanku baju -- sejenis kaus-kaus bergambar binatang atau buah-buahan. Jika dipikir sekarang, kenapa ada baju bermotif seperti itu? Aku selalu cekikikan mengingat baju-baju tersebut.
Sekali waktu setelah kenaikan kelas, aku pernah diajaknya ke Jakarta. Ke wahana permainan dan bermain di laut. Di sana, aku pernah makan hidangan ikan agak asam. Ayam dan banyak lagi. Tapi yang kuingat, ikan bumbu asam itu. Pulangnya, Pak A membeli ponsel Nokia. Bentuknya bagus! Zaman dulu, sangat unik dan jarang orang punya. Ditanyalah aku, apakah aku mau? Kataku, untuk apa? Dia tersenyum -- senyum itu membuat ngilu ulu hati; ini ayahku! Begitu batinku. Tapi bukan. Dia bukan siapa-siapa aku, dia hanya orang tua yang sering aku merengek memintanya nilai minimal B walau tanpa ikut ujian. Aku anak emas, dia pernah berkata begitu. Persetan! Bahasaku kali ini.
Aku dapat ponsel serupa dengannya. Dan sama sekali apa bagusnya untukku punya itu? Aku hanya mau ikan bumbu asam itu lagi!
Aku suka buku. Aku bisa patah hati hanya karena buku; jika buku yang kumau tak bisa kubaca, aku sakit di bagian ini: jantungku! Tapi masih berdenyut, entah kenapa walaupun rasanya sakit.
Itu adalah kisah pemuda miskin. Kata Pak A. Dan tidak bagus anak sepertiku membaca hal seperti itu. Dan di lain waktu, aku ingin menonton film. Kata Pak A, jangan tontonan yang seperti ini! Ini untuk dewasa. Tapi... dari mulai buku dan film yang dilarangnya, semua itu Pak A sendiri yang menceritakannya. Kisah pemuda miskin karya penulis Prancis, lalu sebuah film tentang gadis yang bisa menggigit pen!s seorang pria. Semua itu, dia sendiri yang menceritakannya. Dan saat aku patah hati karena tidak bisa membaca dan menontonnya, aku benci Pak A! Dia tidak baik, dia mengekang hal yang seharusnya diajarkannya secara betul-betul. Tidak setengah-setengah!
Pak A menua, lalu mati dan aku mulai dewasa. Lalu aku kemarin ini, rasanya, melihat serupa Pak A dalam sekelebat manusia. Tingginya, sorot matanya, bungkuk punggungnya, lalu kedipannya, senyum mengurai kepicikannya, dan jakunnya yang bergerak ketika menelan ludahnya, juga... juga cara manusia itu melenggokkan kedua pijakannya, itu persis Pak A.
Aku pusing seketika. Tapi kemudian menerima kenyataan dan memastikan aku terkendali penuh tidak terbawa nuansa melankolis. Perpindahan stabil menuju ketidakstabilan, tidak enak dirasa. Dan segalanya berubah sekejap! Aku rindu Pak A! Kebencianku ingin kutumpahkan pada manusia satu itu.
Tapi tidak. Itu tidak terjadi. Sebelum aku berbuat hal aneh kepada manusia itu, aku kembali di rumah asliku. Seorang aku yang diam, dan tidak banyak tingkah.
Tapi... bolehlah aku mencium sembarang orang.
Siapa sajalah yang muncul tiba-tiba. Kalau sampai terjadi hal tak terduga, yah... paling-paling, si penakut tukang tulis ini menyalahkanku hahahaha!
Amboi! Selimut bergerak sendiri, sedangkan aku menyesap kopi dan mengetikkan jari-jari di sini....