HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Kamis, 2024/06/06 12:42 WIB
Hadiri Sidang Cerai Perdana, Anji dan Wina Kompak Hitam-hitam
-
Jumat, 2024/06/07 16:16 WIB
Selain Ayu Ting Ting, Artis Indonesia Ini Masuk 100 Wanita Tercantik Dunia 2024
-
Rabu, 2024/06/05 11:55 WIB
Tak Larang Leya Pacaran, Ferry Maryadi Beri Peringatan ke Rizwan Anak Sule
-
Kamis, 2024/06/06 19:16 WIB
Akhirnya Tengku Dewi Putri Gugat Cerai Andrew Andika
-
Jumat, 2024/06/07 17:55 WIB
Artis Hong Kong Sammi Cheng Pamer Hasil Kerokan, Penampakannya Bikin Kaget
-
Selasa, 2024/06/04 11:43 WIB
Diduga Lakukan Penggelapan, Tiko Aryawardhana Suami BCL Dilaporkan Eks Istri
|
Thread Tools |
31st October 2013, 13:09 |
#1
|
Banned
|
Karya Sastra Cerpen: Dua Kisah, Satu Sofa
Kini Naira nampak lesu dalam yang duduk di atas sofa kedamaian, bersamaku. Ia seakan memalas berucap lepas. Padahal ia dalam tebaran aroma bunga, wanginya membuat hati dalam ria. Ia nampak lesu. Nampak bait-bait kalimat membisu dalam kegamangan perasaan. Seakan ia menanti sang waktu, di mana titik jenuh hadir memaksa untuk berucap. Aku setia menunggu.
Aku menghela nafas. Menengadah dalam meredup mata. Seketika terdengar desah gelisah, dari Naira. Kini ia dalam jenuh. Waktu mendorongnya berkata. Lalu aku membuka mata. Bersama sang waktu, ia lepaskan kebisuan, “Bagaimana kau melihat hadirku? Dalam kearifan hati. Kau kan tahu hamparan keluasan arti tanyaku padammu. Tanamlah itu dalam pikirmu.” Sepatah kata dari jiwa. Aku tangkap lemparan kata Naira sehingga aku dalam kuasa. Aku dalam jawab demi hidup jiwanya. Betapa aku melihatnya dengan kehormatan hati dalam memberi dan menerima. Betapa pemberian dan penerimaan adalah mutiara-mutiara jiwaku untuk dirinya, belahan jiwaku. aku laksana sofa, yang memberikan naungan kenyamanan untuk tuanya. Sofa ini menyambut hormat. “Berikan untukku ketulusan, kehormatanmu dalam penerimaan dan pemberian,” kata-katanya yang masih tetap lesu. Aku hirup selembut aroma udara. Aku rasakan pencerahan menyambutku seiring tarikan nafas. Lepaskan segera nafasku. Aku menatap bibir tipisnya. Usaha menjawab tinggal terlaksana. Ilham seketika aku peroleh. Aku jelaskan tentang ketulusan dengan kelembutan suara seakan menyamai lesu hidupnya. Ketulusan adalah pakaian, untuk kehormatan dalam pemberian dan penerimaan agar tidak telanjang, tak memamerkan diri dan tak pula menyombongkan diri. Karena telanjang adalah pamer diri dan kesombongan diri yang halus. “Ketulusan ada untukmu....” “Bukanlah ketulusan adalah keikhlasan? Dua kata dalam kesamaan makna,” ia mengomentari seakan tak mengerti, atau karena kelihaian pikirannya. “Kanapa kau bertanya begitu?” “Terkadang bahasa menyesatkan.” Diriku menepuk-nepuk tempat tumpuan tangan dalam sofa. Termenung heran tentang pertanyaan itu. Aku menatap balik rupa dirinya yang masih dalam lesu. “Iya, itu suatu kesamaan . Dan aku tak akan menyesatkanmu.” “Apakah aku harus mempercayaimu Di saat ketulusan atau keikhlasan adalah rahasia Tuhan? Bukankah aku tak mampu menatap ketulusanmu dengan mata telanjang. Mungkin logika akan menentang katamu. Hanya perasaan yang menerimamu....” Apalah artinya rahasia Tuhan, bila tatapan mata Naira melihatku menghamparkan karpet merah dalam sambut hadir dirinya. Apalah arti rahasia Tuhan, bila tatapan mataku sejernih air zamzam padanya. Apalah arti rahasia Tuhan bila kedamaian tetap tertanam di atas sofa ini. “Apakah aku harus memaksa dalam kepercayaan diri? Lihatlah saja hatiku lewat jendela kehidupan. Lihatlah bukti pada kicauan burung di halaman belakang. Tak ada sangkar, hanya taman yang aku berikan. Karena aku tulus hidup burung dalam kebebasan.” “Apakah harus mempercayaimu, Nefis?” ia mengulang lagi seakan menegaskan. “Aku tak bisa menjawab. Dalam sejujur hati, tentu aku inginkan kepercayaan dirimu. Tapi mendapat kepercayaan tidaklah dengan tarikan paksa perkataan atau perbuatan.” “Betapa dirimu adalah sahabat terhormatku,” Kau berkata itu dengan senyummu yang sayu. Aku berdiri demi senyummu yang sayu. Aku berkata dengan jiwa membara. Aku adalah dengan kehormatannya. Naira pun dengan kehormatannya. Manusia di sekeliling kita adalah dengan kehormatannya. Sehingga tatapanku adalah penghormatan dalam pemberian dan penerimaan. Tatkala pancaran mataku memberikan api pada manusia, membakar harga kehormatan, adalah penyiksaan terhadap jiwa. Aku pun akan menerima api dari manusia lain dan terbakar pula. Karena kisahku tercatat dalam hukum karma. Di antara itu semua, ketulusan berirama menyejukkan suasana. Aku lihat kegersangan sebelah dunia kehidupan. Pembahasannya adalah pemberian dan penerimaan yang membakar kehormatan. Ada yang makar, ada yang mati terkapar. Sehingga tak ada kesuburan dalam menuai kedamaian. Aku dalam memberi bukan pemberian raja pada rakyat jelata. Yang memungkinkan hanya suguhan hampa. Aku memberi adalah bagai rakyat memberi raja. Pandang hormat rakyat jelata padanya. Sehingga aku menyuguhkan penuh hormat yang nyata. Aku pun dalam menerima bukan penerimaan raja dari rakyat jelata. yang memungkinkan raja memandang sebelah mata. Tapi aku adalah bagai rakyat dalam penerimaan dari raja. Sungguh sambutan hormat untuk rakyatnya. Penerimaanku adalah pandang dua mata. Sehingga dalam pemberian dan penerimaan terhormat seperti itu adalah lebih dekat dengan ketulusan. “Tunggulah sebentar. Minumlah dan nikmati hidangan lain.” “Baik.” Aku langkahkan dua kaki ke arah sebidang ruangan tempat melepaskan kesadaran di malam gelap. Aku berjalan dengan meninggalkan putri yang sedang ragu memandang perjumpaan ini. Terhiasi dengan pemandangan seperti layaknya kamar lelaki. benda-benda elektronika dunia masa kini. Tertumpuk-tumpuk buku yang sering aku tengok untuk melihat pengetahuan dunia. Terlihat sekumpulan kisah indah berbaur resah masih tersimpan. Aku jadikan itu sebagai mata pelajaran dalam sambut hadir masa depan. Aku ambil lalu kembali menemani Naira. Ia terlihat menatap diriku dalam seribu satu tanya. “Kenapa kau membawakan setebal buku? Apakah kita akan menuai sebait ilmu?” “Apakah kau meragukan ketulusanku?” “Berikan aku penjelasan.” “Jawablah. Aku perlu tahu tentang perasaanmu sebelum menceritakan hal dalam buku ini….” “Bila kau tulus memberi kisah padaku, biarlah lembut bibirmu mengurikan kisahmu terlebih dahulu.” Aku tak bisa berbuat apa-apa. Turut larut dalam suasana yang aku bangun sendiri tentang ketulusan. Betapa ketulusan mengharuskan jiwa mengikat diri pada kepatuhan. Aku pun patuh pada titahnya. Dan ketulusanku ini dalam mengulas kembali kisah yang sempat terkubur oleh masa lalu. “Lihatlah buku setebal ini,” aku menunjukkan pada Naira sebagai saksi. BERSAMBUNG... :-) |
31st October 2013, 13:10 |
#2
|
Banned
|
Dua Kisah, Satu Sofa 2
SAMBUNGAN CERPEN 1
Buku ini adalah kisah tentang aku dan sahabatku, Ani. Tapi kini ia pergi meninggalkan seindah kata yang telah bertamu, tercatat dalam lembaran. Ia meninggalkanku dalam keadaan luka duka menganga atau hanya goresan duka. Ia menyesali kedekatannya di saat tidak bisa mengikat---aku sendiri yang menolak---hubungan percintaan. Betapa aku hanya memandang dalam pemberian atau penerimaan hanyalah ungkapan persahabatan. Ketulusanku dalam persahabatan. Kita dalam kesepakatan bersama. Tapi di lain waktu ia memandangnya penuh bara percintaan. Tapi ia sangat kecewa dengan ketulusanku. “Begitulah tentang kisahku bersamanya. Buku ini sebagai saksi, yang menguraikan ketulusan persahabatan berujung mala "cinta".” “Berarti, ketulusan dalam pemberian dan penerimaan bukan berarti suatu yang diharapkan pula oleh orang yang diperlakukan seperti itu… Bukan hanya meyakinkan ketulusannya.” “Perlu ada kerjasama dalam mengangkat ketulusan. Betapa banyak oang yang tulus, tak diharapkan ketulusannya. Karena mungkin sekongkol kejahatan telah memanfaatkan orang yang tulus memberi dan menerima.” “Lalu, di saat kita menuai ketulusan dalam persahabatan ini. Apakah kita dalam ketulusan persahabatan seumur hidup kita? Betapa kita adalah lawan jenis yang memiliki kehidupan yang berdeda. Kita akan terhalang di saat kekasih telah mengikat kita.” “Apa daya. Semua persahabatan kita renggangkan. Tak terjadi keintiman sehingga tak ada kekasih yang akan menghunus amarah ke sasaran yang dituju. Tetapi kekasih yang aku maksud hanya kekasih yang telah mengikat dalam pernikahan.” Sedari tadi aku membahas tentang ketulusanku. “Apakah kau pun tulus tentang ketulusanku?” tanyaku. “Maksudmu?” “Apakah kau tak seperti sahabatku?” “Apa?! Kenapa kau tanya seperti itu di saat kau pun perlu aku tanya seperti itu. Kau tak pantas menyuguhkan seucap kata seperti itu, di saat aku pun sedang ragu tentang persahabatan denganmu, orang kaya!! Apa karena aku anak rendahan?” “Aku tak bermaksud seperti itu. Lagi pula aku tak memandangmu rendah. Aku hanya ingin menjalani kesepakatan tentang persahabatan.” Naira menundukkan matanya. Aku mencoba memandanginya dengan serius tanpa kata apapun. Ia seakan merasa jenuh kembali. Ruangan hening. Ulah perkataanku mungkin telah menyayat hatinya. Kenapa aku lantang tak teratur mengucapkan hal itu. Aku menyesal. Ia bangkitkan pandangan ke arahku. Aku mengkelipkan mata seolah menguraikan bahasa penyesalan. Ludah pun terasa tertelan ke dalam lorong pernafasan. Sesak sesaat. “Seharusnya aku tanya padamu. Apakah ketulusanmu menyeluruh? Pembahasan mengenai persahabatan bukanlah sekedar judul. Bukankah corak atau macam penerimaan dan pemberian sesuatu yang bermacam-macam? Lalu kau tulus dalam hal apa tentang persahabatan?” Aku kembali menelan ludah. Seakan aku terbuka dengan persoalan baru. Aku tak terbayang bila ia mampu membuka persoalan baru. Tak menyangka ia mempunyai kemampuan berpikir di luar dugaanku. “Aku tak mengerti dalam hal itu. Yang jelas aku tulus bersahabat denganmu.” Ia seakan menang. Sorot matanya menantang. “Makanya aku tak percaya tentang ketulusanmu dalam kehormatan penerimaan dan pemberian karena kau belum mengerti! Begitu luas dunia persahabatan itu. Tak selamanya… kau dalam mutiara ikhlas.” “Yang jelas aku tulus bersahabat denganmu, titik,” aku lampiaskan kesungguhanku padanya. Ia kembali termenung. Seakan ia berusaha mengenali pembahasan ini lebih mendam. Ia menandangi seluruh ruangan rumah. Melihat televisi yang berwajah besar. Ia memandangi akuarium yang besarnya menandingi besar televisi. Berkeliling pemandangan dirinya, menyusuri jam dinding yang menunjuk pada pukul 11.30. Entah apa yang akan ia katakan. Sehingga ia sampai pada penghujung diam. “Kau tahu kan ini rumah?” ia bertanya. “Ya,” jawabku singkat. “Punya siapa?” “Orang tuaku?” “Dari dua orang yang berbeda jenis bukan? Antara lelaki dan perempuan?” “Ya.” “Apakah kau tak sadar, bila kehidupanmu nanti akan seperti ini? Kau selalu mengumbar pembahasan tentang persahabatan. Lantas siapa yang akan menjadi kekasihmu?” “Aku tahu maksudmu. Aku ingin segera mencari pasangan, bukan? Karena aku layak untuk segera menikah. Usiaku dua empat. Tapi yang jelas bukan sahabatku, seperti kau.” “Lalu siapa? Setiap menjalin bersama perempuan kau hanya anggap sahabat. Aku tahu tentang dirimu dari berbagai kabar di kampus. Kau tak pernah bercinta. Apakah aku harus mengatakan kau tak normal?! Aku tak akan berkata seperti itu.” “Aku tahu…, Naira… Kau tak mengerti maksudku. Kau perlu tahu, aku hanya ingin melestarikan persahabatan. Kini, tema persahabatan bersama lawan jenis tak ada lagi kesejatian. Mereka sudah sibuk dengan urusan bersama kekasihnya. Siapa saja sahabat yang berani mendekat kekasihnya dengan keromantisan, maka akan menjadi mala cinta! maksudku malapetaka! Kau perlu tahu!” “Tapi kau perlu kekasih. Kita pun tetap bersahabat dengan baik walau kekasih berada di sampingnya.” “Aku ingin. Tapi pembahasannya akan lain bila kau dan aku sudah memilik kekasih. Aku ingin sekarang menikmati persahabatan.” Ia tersenyum sabit menyegarkan suasana. Aku pun balas dengan senyum pula. Berkumandang azan zuhur menyelusup lembut ke dalam telinga kita. Kita sejenak dalam dalam dengar pada suara yang merdu itu. Angan pun kembali menerka masa depan tentang hubunganku dengan Naira. Betapa aku tak sanggup memandang masa depan, membahas tenang hubungan ini. *** BACA Potret Hidup Lewat Cerpen : Sampah Masyarakat Menyampah |
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer