HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Jumat, 2024/06/12 11:51 WIB
Anang & Ashanty Disoraki Satu Stadion, Walk Out dari GBK Usai Laga Timnas
-
Jumat, 2024/06/12 12:51 WIB
Mahfud Sindir Investor Asing Belum Ada Masuk IKN: Cari Terus Mas Bahlil
-
Jumat, 2024/06/12 12:40 WIB
Kabar Duka, Politisi Gerindra Permadi Meninggal Dunia
-
Selasa, 2024/06/10 18:18 WIB
Ria Ricis Diperas Rp 300 Juta, Video Pribadi Diancam Disebar
-
Selasa, 2024/06/10 12:48 WIB
Baru Sebulan Cerai Teuku Ryan Sudash PDKT dengan Selebgram, Ini Isi Chatnya
-
Jumat, 2024/06/12 13:08 WIB
Inilah Statistik Terbaik Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
|
Thread Tools |
18th September 2008, 14:37 |
#2
|
Groupie Member
|
Walau aq bukan orang Kalimantan tapi aq ikutan posting dech.
Balikpapan kota yang bersih, teratur, jarang ada kejahatan sehingga hidup merasa aman dan tenteram, warganya baik2 dan banyak yang dari jawa lagi. Sejujurnya aq merasa Balikpapan adalah rumah keduaku setelah Jogja. I love this city, Balikpapan |
Wadah berkumpulnya para Manager Cerdik, Cantik dan Terbaik dari Detikers, Klik gambar untuk bergabung atau klik tulisan JOIN
|
18th September 2008, 15:15 |
#3
|
|
Mania Member
|
Quote:
|
|
Romanisti, Dulu, Kini, Selamanya... |
19th September 2008, 15:32 |
#5
|
Mania Member
|
salah satu yg gak dipunya selain Kalimantan
Sumpit, Kebanggaan Suku Dayak
ENAM laki-laki memegang sumpit bersiap-siap menembak sasaran di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Pangkal sumpit sudah ditaruh di mulut dan pipi ke enam laki-laki itu sudah mengembung pertanda anak sumpit sudah siap ditembakkan. MONCONG sumpit ditujukan ke arah sasaran yang berjarak sekitar 15 meter. Sekejap kemudian anak sumpit melesat cepat. Hanya sepersekian detik, anak sumpit itu sudah menancap di sasaran. Penonton bertepuk tangan meriah saat anak sumpit sepanjang kurang lebih 15 sentimeter yang dilepaskan para penyumpit itu tepat mengenai sasaran. Sasaran yang dituju para penyumpit itu bukan binatang buruan ataupun tubuh musuh, melainkan berupa papan kertas yang diberi lingkaran, mirip sasaran dalam lomba panahan atau menembak. Suasana lomba menyumpit di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, yang diselenggarakan di lapangan yang biasa digunakan untuk olahraga panahan di tepi Sungai Mahakam siang itu cukup meriah. Puluhan peserta, baik dari suku Dayak maupun dari etnis lain, bahkan anggota TNI, berlomba memamerkan keahliannya untuk "menembak" sasaran dengan menggunakan sumpit, atau sumpitan, senjata khas Suku Dayak. Ketua Persatuan Olahraga Sumpitan (Peroras) Yahuda Hibau menjelaskan, lomba sumpitan ini untuk sedikit mengalihkan hobi berburu di hutan dengan menggunakan sumpit. Sumpit secara tradisional kegunaannya untuk berburu terutama binatang yang ada di atas pohon, selain untuk berperang. "Sekarang ini burung sudah langka, banyak binatang buruan sudah terancam punah. Daripada berburu binatang yang dilindungi, lebih baik berlomba mengenai sasaran," ujar Hibau. SUKU Dayak mengenal berbagai macam senjata yang biasa digunakan untuk berburu dan berperang pada zaman dahulu, atau untuk kegunaan sehari-hari semisal di ladang. Misalnya sumpitan (sipet), mandau, lonjo (tombak), perisai (telawang), dan taji. Ketua Dewan Adat Dayak Kaltim Barnabas Sebilang mengungkapkan, senjata sumpitan merupakan senjata kebanggaan dan menjadi senjata utama bagi masyarakat Dayak. "Sebenarnya senjata utama suku Dayak itu bukan mandau," ujar Barnabas. "Kalau mandau hanya untuk memenggal kepala orang yang sudah mati, yang terjadi zaman dulu. Racun pada sumpitan ini sampai sekarang tidak ada penawarnya, entah kalau obat-obatan modern." Senjata sumpit ini berupa buluh dari batang kayu bulat sepanjang 1,9 meter hingga 2,1 meter. Sumpit harus terbuat dari kayu keras seperti kayu ulin, tampang, lanan, berangbungkan, rasak, atau kayu plepek. Diameter sumpit dua hingga tiga sentimeter yang berlubang di bagian tengahnya, dengan diameter lubang sekitar satu sentimeter. Lubang ini untuk memasukkan anak sumpit atau damek. "Secara tradisional, kalau ingin tepat sasaran dan kuat bernapas, panjang sumpit harus sesuai dengan tinggi badan orang yang menggunakannya," tutur Ferain Mora, Kepala Adat Dayak Maanyan, Kalteng. Pembuatan sumpit dikerjakan dengan sangat cermat dan teliti oleh warga Dayak. Hampir semua subetnis Dayak menggunakan sumpit, namun yang sangat terkenal lihai membuat sumpit, antara lain subetnis Dayak Ot Danom, Apu Kayan, Punan, Pasir, Ot, Siang dan Dayak Bahau. Hal ini berkaitan dengan jenis-jenis kayu terbaik untuk sumpit yang ada di sekitar permukiman mereka. Cara pembuatan sumpit, kayu keras semisal ulin yang masih berbentuk balok berukuran 10 x 10 sentimeter dengan panjang yang telah ditentukan digantung secara vertikal di suatu tempat. Kemudian bagian bawah balok itu dibor ke arah atas. "Tujuannya agar sisa pengeboran itu langsung jatuh ke tanah. Jadi, tidak perlu repot membersihkan lubang pemboran, dan biasanya dengan cara ini hasil pengeboran lebih lurus," papar Hibau. Setelah selesai dibor, balok yang sudah berlubang itu diraut (dibubut) sehingga berbentuk bulat seperti pipa. Setelah itu baru ditempeli asesoris. Bagian pangkal sumpit biasanya lebih besar dibanding dengan moncong sumpit. Di bagian ujung moncong dipasangi mata tombak terbuat dari besi atau batu gunung yang disebut sangkoh. Kegunaan sangkoh ini untuk cadangan senjata saat binatang buruan yang sudah terluka dan belum mati ternyata berbalik menyerang penyumpit yang belum sempat mengisi kembali anak sumpit. Sangkoh diikatkan dengan erat di ujung sumpit dengan menggunakan tali rotan. Selain sangkoh yang panjangnya sekitar 15 sentimeter, di ujung sumpit terdapat besi berukuran sekitar dua sentimeter yang digunakan sebagai alat bantu pembidik. Kedua alat ini ditempatkan saling berseberangan di ujung moncong sumpit. Bagian yang paling penting dari sumpitan, selain batang sumpit, yaitu pelurunya atau anak sumpitnya. Anak sumpit, disebut juga damek. Ujung anak sumpit runcing, sedang bagian pangkal belakang ada semacam gabus dari sejenis dahan pohon agar anak sumpit melayang saat menuju sasaran. Untuk keperluan lomba, damek tidak diberi racun seperti anak sumpit untuk berburu. Anak sumpit untuk berperang atau berburu biasanya diberikan keratan sepanjang sekitar tiga sentimeter di ujung anak sumpit dengan maksud ujung tersebut patah dan tertinggal dalam tubuh buruan hingga racun lebih cepat bekerja. Untuk menaruh anak sumpit tersedia wadah khusus yang disebut telep. Terbuat dari satu ruas bambu yang diukir dan diikat rotan serta diberi tutup, sebuah telep bisa menyimpan sekitar 50-100 anak sumpit. Racun damek oleh subetnis Dayak Lundayeh disebut parir. Racun yang sangat mematikan ini merupakan campuran dari berbagi getah pohon, ramuan tumbuhan serta bisa binatang seperti ular dan kalajengking. Getah pohon yang digunakan untuk racun di antaranya getah kayu ipuh, kayu siren, atau upas, dicampur dengan getah kayu uwi ara, atau getah toba. Bisa binatang, seperti ular, akan menguatkan efek racun ini. Menurut Barnabas, hingga sekarang ini belum ada penawar untuk racun anak sumpit yang sudah masuk ke pembuluh darah. "Di lingkungan masyarakat Dayak memang belum dikenal adanya penawar racun sumpit," tuturnya. Anehnya, lanjut Barnabas, meskipun sangat beracun, daging binatang buruan aman untuk dimakan. "Berburu kan dagingnya untuk dimakan. Akan tetapi, meskipun racun sumpit sangat kuat, kita aman saja makan daging binatang buruan tersebut, bahkan kalau kita menjilat racun itu sebenarnya tidak apa-apa," ujar Barnabas. Meski demikian, kalau racun damek itu langsung masuk ke darah, manusia atau semua binatang akan segera mati. "Kecuali ayam. Kami juga tidak tahu kenapa ayam tidak mati oleh racun tersebut," ujarnya. Parir, demikian Barnabas, jika akan digunakan untuk berburu atau berperang, harus dijauhkan dari unsur bau-bauan "kota", misalnya bau minyak wangi atau parfum, sabun, sampo, dan sejenisnya. Juga termasuk bau bawang. Pasalnya, begitu kena bau-bauan tersebut, keampuhan racun anak sumpit ini akan berkurang, atau bahkan hilang. Warga Dayak Lundayeh menyebut racun yang sudah hilang kekuatannya akibat bau-bauan "kota" itu mekab. SELAIN beracun, kelebihan yang dimiliki senjata ini, dibandingkan dengan senjata khas Dayak lainnya, yakni kemampuan mengenai sasaran dalam jarak yang relatif jauh. Jarak efektif bisa mencapai puluhan meter, tergantung kemampuan si penyumpit. Selain itu, senjata ini juga tidak menimbulkan bunyi. Unsur senyap ini sangat penting saat mengincar musuh maupun binatang buruan yang sedang lengah. Ada teknik-teknik tertentu dan diperlukan latihan agar seseorang bisa mahir dan pintar berburu menggunakan sumpit. Cara mengambil napas dan posisi badan juga harus diperhatikan. Menurut Yahuda Hibau, ada sejumlah posisi menyumpit, namun yang lazim dengan berdiri atau dengan jongkok. Cara mengatur pernapasan juga harus diperhatikan agar sasaran bisa terkena dengan tepat. Cara memegang sumpit yang benar, kedua telapak tangan harus menghadap ke atas. Dua telapak tangan itu sebaiknya berdekatan atau bersentuhan. Selain kegunaan berburu dan berperang, kegunaan lain sumpit adalah untuk upacara adat atau sebagai mas kawin dalam pernikahan adat Dayak. "Saat bertunangan, senjata sumpit ini juga bisa digunakan sebagai mas kawin," ujar Barnabas. |
19th September 2008, 15:46 |
#6
|
Mania Member
|
Topi Dayak Bukan Sekadar Penutup Kepala
ORANG yang hobi mengoleksi topi boleh tergiur pada topi atau lawung ataupun sampa hangang yang biasa digunakan masyarakat adat Dayak. Selain bentuknya sangat beragam, desainnya juga unik dan bahan dasarnya sangat bermacam-macam.
BUKAN cuma dari kain, tetapi banyak juga yang terbuat dari rumput, rotan, kulit kayu, daun pandan, batok kelapa, bahkan kulit binatang. Tidak sekadar dipakai untuk menahan panas atau hujan, tetapi topi Dayak umumnya dihiasi dengan berbagai ornamen yang sangat indah, mulai dari manik-manik, bulu burung, hingga taring binatang buas. Setiap sub-etnis Dayak yang berjumlah sekitar 514 yang tersebar di seluruh Kalimantan memiliki kekhasan serta keunikan tersendiri dalam penggunaan penutup kepala. Ada yang menggunakan penutup kepala dari kain, sementara sub-etnis lainnya menggunakan penutup kepala terbuat dari rotan, rumput, daun pandan, atau kulit kayu. Namun, jangan sembarangan menggunakan topi Dayak karena masing-masing punya arti sendiri. Penutup kepala bagi sub-etnis Dayak bisa menunjukkan status sosial seseorang di tengah masyarakatnya. Waktu penggunaannya pun memiliki aturan-aturan tertentu, seperti untuk upacara adat, menghadiri kematian, hingga untuk dikenakan sehari-hari. "Salah menggunakan penutup kepala akan dianggap tidak tahu adat, tidak tahu diri, dan melanggar pantangan masyarakat," papar Ferain Mora, Kepala Adat Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah. Di sub-etnis Dayak Maanyan, menggunakan penutup kepala terbuat dari kain biasa disebut lawung. Kain tidak boleh berwarna polos seperti merah, hijau atau hitam, tetapi harus bermotif seperti batik khas Dayak. Motif hiasan pada kain menunjukkan status seseorang, apakah seorang demang (pemuka adat), mantir (pelaksana adat) ataukah masyarakat biasa. Warna yang dominan pada kain juga menunjukkan acara yang dihadiri. Jika acara dukacita, kain penutup kepala dominan berwarna hitam (****lem), sedangkan dalam upacara ritual menggunakan kain bermotif yang dominan warna kuning (bahendai), merah (bahandang), atau putih (baputi). Panjang kain biasanya lima atau tujuh jengkal tangan orang dewasa, dan kain berbentuk segitiga. Jika menghadiri acara biasa, ujung kain menghadap ke bawah, sedangkan pada acara khusus yang membutuhkan keputusan penting, ujung kain menghadap ke atas. "Jika ujung kain salah menghadap, pengundang bisa kecewa dan bahkan tersinggung," ungkap Amu Lanu A Lingu, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah. LAIN lagi tradisi masyarakat Dayak Bahau di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Masyarakat sub-etnis Dayak ini menggunakan penutup kepala atau lawung terbuat dari anyaman rotan yang dihiasi manik-manik beragam warna. Masyarakat sub-etnis ini lebih bersifat egaliter sehingga strata sosial seseorang tidak terlalu mencolok dalam penggunaan penutup kepala. Pola anyaman rotan dan motif hiasan manik-manik tidak ada perbedaan antara kepala adat maupun masyarakat biasa. Yang membedakan justru tingkat kearifan seseorang di tengah masyarakat. Jika orang tersebut dianggap arif, emosinya terkendali dan bijaksana dalam memutuskan suatu masalah, dia berhak menggunakan hiasan bulu burung enggang (Buceros rhinoceros) di penutup kepalanya. "Burung enggang merupakan burung yang dikeramatkan masyarakat Dayak. Burung ini terbang tinggi, menggambarkan seorang pemimpin yang harus berwawasan luas, sedangkan bulunya yang indah menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus dikagumi masyarakatnya karena memiliki berbagai kelebihan," tutur Yosef Lie Aran, Kepala Adat Dayak Bahau, Kampung Long Bagun Ilir, Kecamatan Long Bagun yang terletak di hulu Sungai Mahakam, sekitar 300 kilometer dari Kota Samarinda. Menurut Lie Aran, sayap burung enggang yang lebar menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus mampu melindungi masyarakatnya. Ekor yang panjang melambangkan pemimpin harus membawa kemakmuran, sedangkan suaranya yang nyaring melambangkan suara seorang pemimpin harus didengar masyarakatnya. Karena itu, hanya orang- orang yang memiliki kualifikasi khusus seperti berani, bijaksana, dan arif dalam memutuskan suatu masalah yang boleh menggunakan bulu burung enggang. Penggunaannya pun tidak boleh sembarangan karena dipilih bulu ekor yang ukurannya besar, panjangnya minimal dua jengkal atau 30 sentimeter, dan berwarna belang. Putih di bagian pangkal, hitam di tengah, dan warna putih lagi di bagian ujung bulu burung. "Tiga warna ini mengandung falsafah, kehidupan seseorang suci dari dosa saat berada di dalam rahim ibu, berlumuran dosa di dunia, dan harus putih kembali saat kembali ke alam yang abadi," papar Lie Aran. Bagi masyarakat Dayak Bahau, penempatan bulu burung juga tidak bisa sembarangan. Jika bulu burung enggang ditempatkan di bagian kiri lawung, orang tersebut masih bujangan. Sebaliknya jika ditempatkan di sebelah kanan, pemakainya sudah berkeluarga dan tidak boleh mengganggu atau diganggu gadis secantik apa pun. HAMPIR semua sub-etnis Dayak di Kalimantan memiliki tradisi menggunakan penutup kepala dengan kekhasan masing-masing. Meski ada penutup kepala yang bentuk dan bahan pembuatannya hampir sama, namanya untuk setiap sub-etnis bisa saja berbeda. Jika dilihat dari bentuk dan bahan pembuatannya, secara garis besar penutup kepala di kalangan masyarakat Dayak ada empat, yakni yang terbuat dari rotan, kulit kayu, atau tempurung kelapa dengan dihiasi manik-manik dan bulu burung enggang yang diberi nama sampa hangang. Di sejumlah sub-etnis juga digunakan hiasan bulu burung ruwai (Argus pheasant), dan bahkan ada yang menggunakan bulu ayam yang indah dan berukuran besar. Ada pula sub-etnis yang menggunakan penutup kepala yang dibuat dari kulit kayu, tetapi sekarang menggunakan kain yang disebut lawung. Pola ikatannya untuk setiap sub-etnis bermacam-macam, dan lazimnya tidak menggunakan hiasan tambahan seperti manik- manik atau lempengan logam. Penggunaan penutup kepala dengan sejumlah aturan ini sekaligus menunjukkan masyarakat adat Dayak bisa mempertahankan tradisi luhurnya yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. |
19th September 2008, 15:51 |
#7
|
Mania Member
|
Tradisi Berbusana yang Terancam
DALAM soal berbusana, selera masyarakat Dayak tergolong tinggi, terutama saat upacara-upacara adat. Tradisi mereka mengajarkan perlunya menjaga penampilan terbaik saat berlangsung upacara adat.
Memang, saat bekerja di ladang, pakaian yang dikenakan sederhana, sekadar cukup untuk menahan tubuh dari terpaan sinar matahari. Bahkan beberapa di antaranya hanya mengenakan cawat terbuat dari kulit kayu saat di ladang. Namun, jika menghadiri upacara adat, barulah keindahan busana Dayak bisa membuat decak kagum banyak orang. Rancangan pakaiannya memang sederhana, tetapi hiasannya sangat detail, rumit, dan membutuhkan pengerjaan yang sangat tekun serta cermat. Berbagai manik-manik yang disusun indah dengan beragam warna menghiasi pakaian wanita Dayak. Dipadu dengan topi (tanggoi) dan bermacam aksesori seperti kalung, gelang, dan anting, busana wanita Dayak ini sangat memesona. Apalagi ditambah dengan kulit wanita Dayak yang umumnya kuning serta mulus berkat perawatan tradisional menggunakan bermacam-macam tumbuhan. Begitu pun dengan pria, pakaian yang dikenakan untuk upacara adat tidak bisa sembarangan. Ada aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi dalam berbusana, baik untuk upacara adat, upacara perang, maupun upacara kematian. Namun, umumnya busana mereka dihiasi manik-manik (manas), bulu burung enggang, burung harue atau tulang binatang. Khusus untuk pakaian perang, biasanya bagian dalam pakaian mereka dilapisi serat halus seperti sutra. Tujuannya sebagai pelindung agar tidak tembus senjata berupa anak sumpit atau mandau. Berarti, jauh sebelum dikenal rompi antipeluru berbalut sutra seperti sekarang, masyarakat Dayak sudah sejak lama mengenalnya. BUSANA wanita maupun laki-laki Dayak seluruhnya menggunakan bahan dari alam. Selain kapas yang dipintal sendiri (batenun/ kajalumpang), digunakan pula kulit kayu erau, kayu siren, kayu tengang, kayu kala, dan berbagai jenis kulit kayu lainnya yang diolah sendiri menjadi pakaian yang sangat nyaman saat dikenakan. Terkadang digunakan pula kulit binatang seperti beruang madu yang banyak terdapat di Kalimantan, atau macan dahan yang terkenal garang. Untuk menambah keindahan, ekor binatang buas tersebut sengaja tidak dipotong sehingga menyatu dengan pakaian. "Jadi, sejak dari dulu masyarakat Dayak sangat akrab dengan alam. Karena itu, sungguh tak masuk akal jika masyarakat lokal dituding merusak hutan. Mereka yang merusak hutan itu adalah pemodal kuat yang datang ke Kalimantan," kata Yosef Lie Aran, Kepala Adat Dayak Bahau, Kampung Long Bagun Ilir yang terletak di hulu Sungai Mahakam. Menurut dia, justru penebangan liar yang dilakukan pemodal kuat yang telah merusak harmonisasi masyarakat Dayak dengan alam. Akibatnya, berbagai macam kayu yang dibutuhkan untuk pakaian adat, seperti kayu erau, kayu lonok, kayu nyamu, dan kayu tengang yang sangat bagus untuk dibuat pakaian, sekarang sangat sulit diperoleh. Bahkan berbagai macam burung pun, seperti burung enggang, harue, dan burung tanjaku, ikut musnah seiring dengan habisnya hutan Kalimantan. Padahal, bulu-bulu burung tersebut yang penangkapannya secara adat tidak bisa sembarangan sangat dibutuhkan untuk pakaian adat Dayak. "Pengusaha berdalih hutan yang dibabat akan ditanami pohon-pohon baru. Lalu, binatang seperti burung dan beruang yang sudah telanjur hilang saat hutan dibabat, bagaimana mendatangkannya?" tanya Samuel Legi, Kepala Adat Dayak Kenyah di Desa Tanah Datar, Kabupaten Kutai Kartanegara. Tidak heran jika masyarakat Dayak sekarang sangat sulit memperoleh bahan pakaian adat yang berasal dari alam sekitarnya, baik dari kulit kayu, kulit binatang, maupun bulu burung sebagai hiasannya. Dan sayangnya, regenerasi cara memintal kain secara tradisional, maupun tradisi mengolah kulit kayu menjadi pakaian yang nyaman, tidak berlangsung di kalangan generasi muda Dayak. Kondisi ini makin runyam karena sekarang hingga ke daerah pedalaman sekalipun sangat mudah mendapatkan kain tekstil buatan pabrik maupun kain impor yang kualitasnya bagus dan harganya murah. "Generasi muda sekarang banyak yang tak mengenal lagi tradisi memintal kain secara tradisional. Orang-orang tua pun kesulitan mengajarkan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun karena sulitnya mendapatkan bahan baku dari hutan Kalimantan yang kini sudah rusak," papar Yosef Lie Aran. Bisa jadi, jika pembabatan hutan Kalimantan terus berlangsung, tradisi berpakaian adat Dayak akan hilang perlahan-lahan. Tradisi luhur yang sangat mengagumkan ini boleh jadi suatu saat kelak hanya tinggal kenangan masa silam. |
19th September 2008, 15:54 |
#8
|
Mania Member
|
Bagi Suku Dayak, Senjata merupakan Kehormatan Diri
BAGI masyarakat Dayak, senjata bukan semata-mata untuk berburu, tetapi sekaligus merupakan kehormatan diri. Karena itu, jangan coba-coba menganggap enteng senjata, misalnya memotong apalagi sengaja menginjak-injak. Perbuatan itu bisa dianggap penghinaan.
"Memang tidak akan menimbulkan konflik berkepanjangan karena masyarakat Dayak pada dasarnya sangat mencintai perdamaian. Namun, pelakunya bisa dituntut dalam suatu rapat adat dan dikenai sanksi," ungkap Yosef Lie Aran, Kepala Adat Dayak Bahau, Kampung Long Bagun Ilir, yang bermukim di hulu Sungai Mahakam. Bukan cuma sumpit atau sipet yang menjadi senjata khas masyarakat Dayak dan dimiliki setiap keluarga, tetapi masyarakat asli Pulau Kalimantan ini juga memiliki beragam senjata dengan kegunaan masing-masing. Sumpit yang panjangnya setinggi orang dewasa, misalnya, merupakan senjata khas yang digunakan untuk berburu dan sebelum tahun 1900-an digunakan untuk berperang. Alat utamanya anak sumpit (damek) yang beracun dan warna racunnya bisa berwarna putih, merah, kuning, dan hitam. Di bagian ujungnya terkadang diberi mata tombak (lonjo) yang berfungsi sebagai senjata darurat jika hewan yang diburu tidak langsung mati, tetapi balik menyerang. Senjata yang sangat ampuh ini terbuat dari besi dan diikat dengan menggunakan rotan. Selain itu, biasanya dibawa pula mandau berupa senjata mirip parang, tetapi pasti berukir atau ditatah di salah satu sisinya. Mandau yang asli terbuat dari batu gunung yang dilebur khusus oleh ahlinya dan hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Tidak heran jika kemudian, harga mandau asli sangat mahal karena pembuatannya membutuhkan kehati-hatian dan kecermatan yang sangat tinggi. "Mandau yang dijual di pasaran, umumnya dibuat dari besi dan secara adat maknanya kurang," tutur Ferain Mora, Kepala Adat Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah. Pegangan mandau biasanya dibuat dari tanduk rusa atau kayu kualitas nomor satu yang diukir. Di ujungnya ditempatkan pula beberapa helai rambut manusia. Sarung mandau juga diukir khas Dayak yang sangat indah serta dianyam rotan Kalimantan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, serta manik-manik yang indah dan tak lupa diselipkan jimat. Di sarungnya biasanya ditempatkan pisau kecil berukuran sekitar 10 sentimeter yang sangat tajam dan diberi nama langgai kuai. Sebagai pertahanan diri, biasanya dibawa pula perisai (telawang) yang terbuat dari kayu ringan, tetapi sangat liat. Panjangnya sekitar satu meter dan lebarnya 30-50 sentimeter. Selin itu, senjata itu berguna untuk membela diri dari senjata-senjata musuh, seperti mandau, tombak, dan sumpit. Karena perang antar subetnis sudah lebih dari 100 tahun tidak pernah terjadi lagi di Kalimantan, dewasa ini perisai jarang digunakan untuk keperluan sehari-hari, kecuali tombak, mandau, dan sumpit. Meski demikian, bukan berarti boleh meremehkan senjata suku Dayak, sebab sekali lagi, senjata bagi masyarakat Dayak merupakan lambang kehormatan diri. |
19th September 2008, 16:23 |
#9
|
Mania Member
|
inilah yg membuatku bangga meski tinggal didaerah hulu mahakam yg jarang terjamah oleh tangan pemerintahan dan terinjak ditengah angkuhnya kota2 besar namun anak - anak ini masih bisa tertawa ceria bersama tenangnya sungai kebanggan mereka "MAHAKAM"
|
sebaik-baiknya cinta adalah cinta kepada penggenggam alam semesta… |
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer