Menatap matanya, itulah keindahan.
Memandangi juntaian rambutnya yang jatuh ke kening, itulah keelokan.
Memicingkan mata menikmati cantik daun telinganya, lubang sendu di baliknya, bibir tipis atasnya, rambut-rambut halus berpori di pergelangan tangannya; gerak tangan -- siku, kibasan telapak tangan, lutut tertekuk, bergerak -- tungkai pragmatisnya, tumit kepercayaan dirinya, dan... dan... dan setiap pergerakan nyawa di dalam raganya, itulah kesyukuran yang suci tak terelakkan lagi.
Mengamati setiap jengkal langkahnya, itulah keinginan untuk hidup.
Meneliti gelombang suara tawanya, nada bicara, bahkan rintihan sakit dan tangisnya, itulah kekuatan.
Dialah kekuatanku....
Di mana ada kekuatan, di situ ada keinginan untuk hidup. Di mana ada keinginan untuk hidup, disitulah ada kemauan untuk berjuang. Di mana ada kemauan untuk berjuang, di sanalah ada hasrat untuk berusaha. Di mana ada hasrat untuk berusaha, pastilah ada harapan.
Di mana ada harapan,
kemungkinan besarnya, ada celah untuk menggapai kebahagiaan.
Dia kebahagiaanku....
Setetes madu rasanya manis, namun alangkah manisnya perasan mengkudu jikalau diteguk bersamanya.
Secuil ikan sardin gurih di lidah, akan kalah nikmat rasanya dibandingkan kulit sandal apabila dimakan dalam pelukannya.
Segigit apel, sungguh empuk dan manis! Tetapi, jauh lebih renyah dan giung bilamana kulit manggis kumakan saat mencium bibirnya.
Sutra lembut membuat nyaman kulitku, ah itu biasa. Ada yang lebih halus dan begitu nyaman dikenakan; karung goni yang tersulam oleh tangan tulusnya.
Jepit rambut mutiaraku, berkilau dan elok membuat mahkotaku bangga. Masa iya, mahkotaku tak merasa bangga jika mengenakan akar dari pohon nestapa yang ribuan tahun tumbuh? Daripadanya aku dibuatkan ikat rambut bernama tali cinta -- cintaku sendiri yang membuatnya.
Begitu banyaknya kekuatan yang kaupunyai, lalu kau merasa kalah begitu saja? Jauh di dasar relung hati musuh, mereka mengibarkan bendera putih; menyerah! Dan kau masih berkutat pada kelemahan diri? Tidaklah begitu cara untuk hidup. Menurut paham hidupku, tidaklah begitu.
Kekuatanmu begitu banyak, ibarat kucing yang memiliki sembilan nyawa, maka kau memiliki ribuan tameng -- kekuatan yang bisa mengahalau panah bernama ujian hidup.
Kau kekuatanku, katakan padaku apa kekuatanmu?
Jangan bilang, nasi dan lauknya. Karena terus terang saja, tanpa itu pun aku tak akan bisa hidup.
Kau memang kekuatanku, dan cacing dalam perutku, mengaku lain. Katanya, berhenti bermabuk-mabukkan asmara, ia lapar dan mau semangkuk nasi dan daging sapi berlemak setengah matang!
Baiklah, baiklah....
Ayo, kita makan! Habis itu, kita makin perkuat kekuatan kita sampai manusia lainnya muak melihat kelakuan mesum kita hahahaha~